Gadis kecil berambut ikal dan berwajah kumal itu duduk termangu di depan pesawat televisi berukuran 21 inci. Pandangannya lekat ke depan. Meskipun acara di kotak ajaib itu kerap terganggu—gambarnya tak sempurna diterima dari pemancar dan suaranya terdengar seperti radio kehilangan frekuensi, si gadis kecil itu tampak keasyikan. Bahkan ia tak sadar telah hadir di ruangan itu sesosok asing, aku.
!break!
Listrik menyala di siang hari seperti itu adalah hal yang jarang sekali dinikmati warga Dusun Tangsi Jaya di Bandung Barat, Jawa Barat, walaupun telah berdiri di sana sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro dengan kapasitas 18 kilowatt (kW). “Kalau siang biasanya listrik mati karena jarang ada yang di rumah. Semua orang pergi bekerja,” jelas Nuryanti, ibu si gadis kecil. Namun, siang itu listrik dibiarkan menyala agar para tamu yakni diriku dan sejumlah peneliti energi alternatif dapat melihat secara leluasa bagaimana pembangkit yang mengandalkan kekuatan air itu bekerja.
Sudah lebih dari setengah tahun, sekitar 70 kepala keluarga di sana dapat menikmati listrik murah meriah dari pembangkit mikrohidro pada malam hari. Sebelumnya, listrik hanya diperoleh dengan bantuan kincir air tradisional. Itu pun khusus untuk penerangan dan tidak merata bagi semua rumah tangga. Mereka yang tidak kebagian terpaksa menggunakan lampu teplok berbahan bakar minyak tanah. Jika ada yang ingin menyalakan televisi, lampu-lampu di sejumlah rumah warga harus rela dipadamkan sementara.
Menggunakan kincir air sebagai sumber penghasil energi listrik tidak hanya terbentur pada daya yang kecil. Lebih dari itu, alat-alat elektronik warga kerap rusak sistem tersebut belum menggunakan alat pengendali tegangan. Pernah suatu ketika, televisi milik seorang warga meledak. Penyebabnya: tegangan menjadi tinggi karena aliran air di sungai sedang kencang.
Sebetulnya, listrik dari PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sendiri sudah cukup lama menyapa warga di Desa Gunung Halu. Sayangnya tidak semua dusun dapat terlayani, terutama yang ketinggiannya 1.100 meter di atas permukaan laut dengan topografi berbukit-bukit dan tipologi desa sekitar hutan seperti Dusun Tangsi Jaya ini.
Adapun pembangkit mikrohidro yang sekarang dinikmati masyarakat Tangsi Jaya itu—diberi nama Rimba Lestari—dibangun oleh pemerintah daerah. Biaya yang dibebankan kepada warga pada saat sambungan pertama adalah sebesar 200 ribu rupiah, yang dicicil selama sepuluh bulan. Sedangkan iuran bulanannya sebesar 15 ribu rupiah. Kalau dibandingkan dengan biaya langganan PLN di wilayah tersebut yang sekitar 30 ribu-70 ribu rupiah per bulan, iuran itu masih jauh lebih murah.
!break!
Meskipun demikian, masih banyak warga yang menunggak pembayaran hingga beberapa bulan. Opan menduga ini hanya masalah kebiasaan. Dulu warga Tangsi Jaya terbiasa menggunakan minyak tanah dan membelinya bisa dicicil dengan nominal yang relatif kecil. “Sekarang, tiap bulan mereka harus bayar langsung 15 ribu rupiah. Itu yang belum terbiasa,” jelasnya.
Menurut Daniel, pembangkit listrik tenaga mikrohidro adalah sebuah pembangkit listrik kecil yang menggunakan tenaga air di bawah kapasitas 200 kW yang dapat berasal dari saluran irigasi, sungai, atau air terjun alam. Cara kerjanya dengan memanfaatkan tinggi terjun (head) dan debit air. Dengan kehadiran pembangkit mikrohidro seperti Rimba Lestari, kupikir pelan-pelan kehidupan warga Tangsi Jaya bergerak ke arah yang lebih baik. Dengan alam yang indah, udara bersih, tanah yang subur, ketercukupan energi, mereka hampir memiliki segalanya dan tak perlu berpusing-pusing menghadapi gempuran harga minyak yang melambung tinggi.
Selain listrik murah, untuk memasak sehari-hari mereka cukup mengandalkan kayu bakar yang tersedia berlimpah di sekeliling rumah. Kadang, jika sedang malas mencari, Nuryanti akan membeli kayu-kayu tersebut dari warga yang memang sehari-hari bekerja sebagai pencari kayu. Tidak perlu elpiji, apalagi minyak tanah yang subsidinya sudah mencapai dua kali lipat dari harga keekonomiannya sendiri. “Minyak tanah mahal. Saya pakai kayu bakar saja. Beli lima ribu rupiah sudah bisa untuk tiga hari,” terang ibu tiga anak ini.
Ahli hidrologi yang juga sekretaris jenderal pada Asosiasi Hidro Bandung, Faisal Rahadian, mengatakan kepadaku bahwa pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga mikrohidro lengkap dengan instalasinya sebenarnya membutuhkan investasi yang tidak sedikit: rata-rata 27,5 juta rupiah per kilowatt-nya. Dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar solar, misalnya, masih lebih mahal. Namun, jelas Faisal, ”Pembangkit tenaga mikrohidro memang memerlukan investasi awal yang besar tetapi biaya operasionalnya rendah. Untuk pembangkit dengan BBM yang tidak disubsidi pemerintah, harga listriknya bisa mencapai dua ribu rupiah per kilowatt perjam. Sedangkan mikrohidro hanya sekitar 750 sampai 1.450 rupiah per kilowatt per jam dengan harga suku cadang yang juga tidak mahal.”
!break!
Meski begitu menurutnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar tingkat kegagalan pembangkit mikrohidro mencapai 0 persen. Di antaranya identifikasi lokasi yang cocok, jumlah calon konsumen, dan jarak lokasi pembangunan (pusat beban) terhadap jaringan PLN terdekat serta sumber air itu sendiri. Itu belum semuanya.
Ada lagi informasi teknik yang juga harus diketahui seperti estimasi debit aliran air yang direncanakan dan diharapkan dapat tersedia sepanjang tahun. Kemudian, pengukuran head dan estimasi head yang dapat diperoleh, estimasi total daya terbangkit, serta panjang jaringan transmisi serta distribusi yang diperlukan—termasuk estimasi jarak dari rumah pembangkit ke pusat beban. “Informasi yang berkaitan dengan topografi dan kondisi di sekitar pembangkit juga pentingnya. Seperti area yang rawan longsor, riwayat gempa dan sebagainya,” terang peneliti mikrohidro itu.
Informasi khusus yang berkaitan dengan konservasi daerah setempat dan lingkungan yang khusus seperti kondisi hutan di sekitar yang mempengaruhi reservasi air, kawasan cagar alam dan budaya atau adat juga perlu diketahui. Faisal menambahkan, dalam pengukuran debit air biasanya terdapat kendala berupa keterbatasan data dan ketersediaan waktu survei yang tidak memungkinkan pengukuran air sepanjang tahun. ”Sebagai jalan keluar, pengukuran debit dapat dilakukan pada musim kemarau,” ucapnya.
Perencanaan dan riset semacam itu yang mungkin dilakukan dengan kurang akurat tatkala Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA) Provinsi Yogyakarta membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro di Dusun Daleman, Sleman. Setelah menelan anggaran daerah hingga 50 juta rupiah dengan kapasitas mencapai 15 kW, pembangkit tersebut hanya mampu melayani enam pelanggan dan beroperasi selama tiga bulan saja.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR