Sebenarnya bisa. Tsunami Minoa dipicu oleh letusan dahsyat Thira, pulau gunung api 110 kilometer sebelah utara Kreta di Laut Aegea. Sementara tanah longsor dapat menyebabkan tsunami lokal, seperti tsunami setinggi 525 meter yang menghantam lereng bukit di Alaska, pada 1958. Syaratnya ada batu bermassa besar yang bergerak mendadak di dalam air bermassa besar—tidak harus di laut.
Memang, sebagian besar tsunami, termasuk Tohoku, disebabkan oleh gempa bumi dasar laut di sepanjang sesar yang disebut zona subduksi. Sebagian besar berada di Samudra Pasifik dan Hindia. Sepanjang perbatasan itu terjadi tabrakan dua lempeng tektonik bumi, dan lempeng yang membawa kerak samudra padat masuk ke bawah lempeng benua yang lebih ringan, membentuk palung laut yang dalam. Biasanya hal ini terjadi secara perlahan-lahan, beberapa sentimeter per tahun.
Namun, sesekali kedua lempeng ini tertahan. Setelah berabad-abad, akumulasi ketegangan mengalahkan hambatan tersebut, dan kedua lempeng terlepas dengan disertai guncangan. Di lepas pantai Jepang Maret lalu, gempa terjadi 30 kilometer di bawah dasar laut dan kemudian merambat ke atas mengikuti lereng pertemuan kedua lempeng itu hingga ke Palung Jepang di dasar laut. Gempa ini mengeluarkan energi setara 8.000 bom Hiroshima.
Gelombang laut biasa hanyalah alun akibat terpaan angin di permukaan laut, tetapi tsunami menggerakkan seluruh kolom air, mulai dari dasar laut. Gerakan awal ini menyebar ke arah yang berlawanan dari sesar tersebut, dengan jarak antara muka gelombang yang dapat mencapai 500 kilometer. Di lepas pantai berair dalam, gelombang ini hampir tidak terlihat. Tinggi gelombang ini kian bertambah di air dangkal, karena pantai menyebabkan naiknya kolom air—dan dapat tetap berbahaya sekalipun telah menyeberangi samudra, melaju secepat pesawat jet. Tsunami yang meluluhlantakkan Jepang Maret lalu menghanyutkan seorang pria di California; tsunami ini juga memecahkan blok es seukuran Kota Makassar di tepi Antartika yang beku.
!break!
Tsunami Indonesia pada 26 Desember 2004 menewaskan penduduk di sekeliling Samudra Hindia. Kejadian ini bermula di lepas pantai barat laut Sumatra akibat robekan mendadak sepanjang 1.600 kilometer—dan gempa berkekuatan 9,1—di sesar naik raksasa (megathrust) Sunda, patahan tempat sebagian dasar Samudra Hindia mengalami subduksi ke bawah Indonesia. Indonesia menderita kerugian paling besar, dengan hampir 170.000 korban tewas—lebih dari setengahnya di Banda Aceh. Masih ada sekitar 60.000 lagi yang tewas di Srilangka, India, dan negara-negara lain di tepi samudra itu, hingga sampai ke Afrika.
Akibat bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya itu, beberapa negara bekerja sama untuk memperluas penggunaan sistem deteksi tsunami. Sistem ini terdiri atas instrumen yang terpasang di dasar laut—disebut tsunameter—yang mengukur perubahan tekanan akibat tsunami yang lewat. Tsunameter mengirimkan sinyal ke pelampung di permukaan, yang meneruskan data itu ke satelit. Satelit ini kemudian menyiarkan informasi tersebut ke pusat peringatan di seluruh dunia.
Pada 2004 hanya ada enam detektor yang terpasang, semuanya di Pasifik. Tidak ada yang dipasang di Samudra Hindia, ditambah lagi banyak negara di kawasan itu yang tidak memiliki pusat peringatan nasional yang bisa memperingatkan masyarakat. Kesalahan kebijakan itu membawa konsekuensi tragis. Memang di Sumatra orang hanya punya waktu sebentar untuk menyelamatkan diri, tetapi tsunami baru dua jam kemudian mencapai India, dan sekitar 16.000 orang tewas di sana.
“Sangat bisa dihindari,” ujar Paramesh Banerjee, pakar geofisika di Nanyang Technological University di Singapura. “Secara teknis, relatif mudah memasang sistem peringatan tsunami untuk Samudra Hindia.”
Sekarang ada 53 pelampung-detektor yang beroperasi di semua lautan di dunia, termasuk 6 dari 27 yang direncanakan di Samudra Hindia. Jadi, terulangnya tragedi 2004 kecil kemungkinan terjadi lagi.
Namun, detektor itu tidak akan bermanfaat di Sumatra. Orang yang tinggal di pesisir dekat sesar yang robek harus melarikan diri segera setelah gempa. Sistem peringatan Jepang selain bergantung pada tsunameter juga bergantung pada seismometer, yang dikombinasikan dengan model komputer yang memperkirakan skala tsunami berdasarkan besar dan lokasi gempa.
Pada Maret silam, sistem yang dioperasikan oleh Badan Meteorologi Jepang (JMA) ini tidak bekerja dengan sempurna. Perkiraan awal JMA, saat tanah masih bergoyang, gempa tersebut berkekuatan 7,9—sementara analisis belakangan mengungkapkan gempa itu 9 skala Richter, 12 kali lebih besar. Mereka memperingatkan akan adanya gelombang tsunami setinggi tiga meter atau lebih—sementara gelombang sebenarnya mencapai 15,5 meter di Minamisanriku dan bahkan mungkin lebih tinggi di beberapa tempat lain.
Namun, respons manusia terhadap peringatan itu juga tidak sempurna. “Saya pikir kali ini banyak orang yang tinggal di atas batas tertinggi tsunami 1960 merasa tidak perlu menyelamatkan diri,” kata Jin Sato.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR