!Break!
Kian siang, tonggeret serempak berdering nyaring mengiringi Fadlan S. Intan, ahli geologi dalam tim itu, yang tengah memeriksa temuan bebatuan dari ayakannya di serambi gua. Saya bertanya seputar kawasan karst di sini. Fadlan mengambil ranting lalu menggoreskannya di tanah. “Jadi kalau lihat di peta,” tunjuknya, “karst Baturaja ini hanya di tengah saja seperti lensa—elips.”
Berbeda dengan karst di Kalimantan dan Sulawesi yang jauh lebih luas. Dalam batuan karst Baturaja, kerap muncul bebatuan lain sehingga menghasilkan sumber batu untuk peralatan zaman itu. “Gua hunian di sini banyak, bisa dirangking seperti hotel,” ungkap Fadlan.
Selama lima tahun belakangan ini, dia telah menyurvei gua-gua perbukitan karst sekitar sini. Hasilnya, paling sedikit 38 gua dan ceruk yang umumnya berpotensi sebagai hunian prasejarah. “Menurut saya cukup padat,” ujarnya sambil mengalungkan kaca matanya. “Barangkali karena daerah ini tidak terlalu luas sehingga mereka memanfaatkan semua gua.”
Saya mengamati batuan hematit yang ditemukan Fadlan dalam ayakannya. Batuan ini diduga menjadi sarana para manusia prasejarah melukis di dinding gua. Terdapat sebelas panil gambar cadas prasejarah di gua ini. Semuanya merupakan panil-panil imaji gerigis yang terdiri atas gabungan garis-garis dan/atau titik-titik.
Pada 2010 Pindi Setiawan, selaku anggota tim Truman dari Pusat Penelitian Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, menyelisik temuan gambar cadas gua ini. “Di Bukit Karangsialang masih ada gua yang lebih luas dan lebih tinggi lokasinya,” ujarnya, “Namun Gua Harimau-lah yang termegah.”
Saya menjumpai Pindi di sebuah gerai kopi di Kembangan, Jakarta Barat. Lelaki itu telah berpengalaman meneliti gambar cadas yang tersebar di gua-gua seantero Tanah Air sejak lebih dari 15 tahun lalu. Rupanya, kegemaran Pindi dalam petualangan alam liar bersama Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri telah tersalurkan dalam serangkaian penjelajahan gua yang dilakoninya.
Sebagai temuan gambar cadas pertama di Sumatra, Pindi berharap gua ini dapat melengkapi sejarah ke-Nusantara-an. Dia mencoba menghubungkan antara gambar cadas dan aspek keruangan Gua Harimau terhadap lingkungan sekitar.
Menurutnya, gambar cadas merupakan imaji yang mengandung informasi tentang peristiwa penting bagi masyarakat penggambarnya—bukan aktivitas harian. Imaji dalam gua ini tampaknya terkait dengan suatu kejadian sakral pada masyarakat yang tidak lagi sekadar berburu-meramu, tetapi juga bertani, berhierarki sosial, dan telah mengenal hubungan pertukaran barang.
!break!
Pendapatnya sedikit berbeda dengan Truman dalam hal fungsi gua ini. Menurut Pindi, para Penutur Austronesia awal yang datang dengan teknologi pertanian dan perahu itu sudah tidak lagi menggunakan gua sebagai hunian utamanya. Mereka sudah membangun pondok-pondok. “Yang menjadi masalah adalah sampai sekarang kita belum menemukan kampungnya,” ujar Pindi.
Mereka memandang gua sebagai tempat yang penting bagi pemenuhan kebutuhan integratif. Jadi, ketika gambar cadas dilukis, tampaknya gua berfungsi sebagai tempat sakral. “Saya tidak begitu yakin gua ini untuk dihuni,” ujarnya “kalau dihuni pun sifatnya sementara.”
“Gua Harimau sepertinya berfungsi sebagai peribadatan,” ungkapnya. “Ada indikasi kuat.” Pertimbangannya adalah gua ini memiliki panorama yang bagus, terlihat dari jauh lantaran berciri dinding putih, berkesan bersih, dan dekat sumber air.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR