Mereka menyebar sejak awal Holosen, sekitar 11.800 tahun silam. Ras ini juga mendiami gua-gua dengan gaya hidup berburu dan meramu, jauh sebelum para Penutur Austronesia bermukim ke Indonesia.
Penutur Austronesia mulai bermigrasi dan merambahi gua ini sekitar tiga milenium silam. Mereka membawa peradaban Neolitik dengan teknologi beliung persegi dan tembikar.
Ada kemungkinan komunitas itu melakukan perkawinan dengan ras Australo-Melanesia. Perkawinan yang dimaksud tidak hanya perkawinan pasangan lelaki dan perempuan—lalu beranak-pinak—tetapi juga dalam hal percampuran budaya Preneolitik dan Neolitik.
!break!
Namun, Truman melihat dalam perkembangannya ternyata corak budaya Neolitik kian kentara. Tempat hunian mereka pun berpindah dari gua ke tempat terbuka sembari mendomestikasi hewan, bercocok tanam, dan membuat peralatan. Budaya mereka tadi meninggalkan peradaban terakhir masa prasejarah lantaran pada masa berikutnya mereka mendapat pengaruh logam, dan itu terus berlanjut.
Saya bertanya kepada Truman tentang fungsi Gua Harimau pada masa itu, apakah sebagai hunian atau permakaman. “Dua-duanya!” jawabnya singkat dan tegas.
Di Gua Harimau para Penutur Austronesia awal dapat bermukim nyaman lantaran ideal sebagai hunian prasejarah. Mereka juga membawa batu-batu dari sungai lalu memangkasnya menjadi alat kerja di dalam gua. Namun, pada masa yang sama, gua itu juga berfungsi sebagai permakaman apabila ada warga komunitas yang meninggal.
Pendapat Truman didukung bukti melimpahnya temuan alat-alat serpih, alat dari tulang, arang, bahkan serpihan tulang babi dan kerbau yang diduga sampah dapur penghuni gua itu. “Apakah itu semuanya bekal kubur?” dia balik bertanya kepada saya. “Berarti di situ ada kegiatan sehari-hari.”
“Hunian dan permakaman dalam satu gua itu hal yang umum,” ujarnya. Budaya seperti itu dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun, kekhususan Gua Harimau dibandingkan gua-gua lain adalah permakaman yang berada di tengah aktivitas sehari-hari. “Yah, itu tidak masalah bagi mereka penghuni gua ini,” ungkapnya, “karena ruangan gua itu sangat luas.”
Truman juga menolak anggapan bahwa gua tersebut merupakan kuburan massal. “Saya menduga kuburan itu telah dipakai selama beribu tahun sejak 3.000 tahun lalu,” ujarnya berdasar temuan artefak.
Kirana sang rawi bangkit menghangatkan tebing-tebing karst Padangbindu. Pagi itu tim peneliti menuruni tangga kayu rumah panggung untuk bersiap memulai perjalanan kembali ke Gua Harimau.
Truman berjalan paling depan dengan topi rimba birunya, ransel, dan sepatu bot selutut warna zaitun keruh. Usai melewati perkampungan, kami menyusuri titian kayu bertali kawat baja sejauh hampir 50 meter yang selalu berayun apabila ada yang lewat. Di bawah, tampak warga tengah mandi dan mencuci baju di derasnya Sungai Ogan.
Ketika menanjak di kerindangan hutan, segerombolan monyet terkejut melihat kami, lalu jejeritan dan lintang-pukang di sela pepohonan hutan yang kian lebat. Tampak bentangan Bukit Karangsialang dengan tebing putih kontras yang digelayuti tanaman merambat. Seolah sebagai penanda bagi pendatang, di tebing putih itulah gua yang membekukan peradaban purba itu bersemayam. Terlihat begitu anggun!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR