“Itu berulang di seluruh Indonesia,” kata Pindi, “bahwa gua-gua yang digunakan sebagai tempat upacara sakral mempunyai ciri khas seperti itu.”
Siapa si perajah gambar cadas itu? Tampaknya dia bukan seorang kepala suku, melainkan seorang tokoh—sang syaman—yang berkaitan dengan konsepsi kepercayaan. Di dunia ini jarang sekali pemimpin negara yang sekaligus merangkap sebagai pemimpin agama. Dan, peradaban Penutur Austronesia yang datang ke Sumatra telah mengenal sistem pembagian kerja dan stratifikasi sosial.
Gambar cadas memang selalu berkait dengan kegiatan sakral, namun tidak harus di tempat suci. Bisa jadi gambar itu ditemukan juga di gua hunian. “Ibarat kita menemukan sajadah, tidak berarti ruangan itu adalah masjid.”
Ada dua pembahasan menarik yang diungkapkan Pindi soal imaji yang ditampilkan dalam panil-panil gambar cadas itu. Dia menyebutnya: “imaji jala-tumpal” dan “imaji garis-lengkung sejajar.”
Imaji jala-tumpal tidak dibuat dengan spontan, namun dengan penuh kehati-hatian. Ini merupakan citra yang mewakili suatu arti yang terkait peran eksklusif gua megah ini. Artinya, hasil akhir lukisan itu lebih penting ketimbang proses membuatnya. Perumpamaannya “seperti saat membuat salib, tidak masalah kalau kayu-kayu bakalnya terinjak-injak,” ujarnya. “Namun begitu selesai, salib harus ditempatkan di atas.”
Sementara imaji garis-lengkung sejajar dibuat spontan sehingga tampaknya dibuat tatkala trance. “Menariknya,” sambung Pindi, “jika diminta melukis, semua orang di dunia yang berada di ambang sadar biasanya akan membuat garis-lengkung sejajar!” Dia pun menamsilkan budaya piramida yang berulang di seluruh dunia. “Kalau ada orang bikin piramida di Mesir, di Maya pun membuat hal yang sama.”
!break!
Imaji garis-lengkung sejajar ini menunjukkan bahwa proses melukisnya lebih penting daripada hasil akhirnya, sehingga imaji ini boleh ditimpa dengan imaji lainnya. Persis seperti di Bali ketika “orang khusyuk beribadah dengan sesaji kembang,” katanya, “namun, mereka tidak soal apabila usai ibadah sesaji itu digilas mobil.”
Di ambang sadar, sang syaman melakukan tarian keramat sambil melumuri tangannya dengan turap dari luluhan batuan hematit. Lalu, “jari-jarinya menyentuh dinding gua sebagai hubungan langsung dengan portal dunia lain.”
Ada hal istimewa soal gambar cadas gua ini. Jika lazimnya panil gambar cadas disajikan untuk semua pemirsanya, ada satu gambar cadas yang diciptakan hanya untuk si perajah sendiri. Letaknya di balik batuan yang menggantung.
Pindi kembali memberikan perumpamaan untuk gambar istimewa itu. "Sama seperti gambar pada wayang beber, adegan terakhir itu hanya boleh dilihat oleh beberapa orang tertentu."
“Memang konteks cara berpikir kita tidak berubah,” ungkapnya. Semenjak manusia pertama—Homo sapiens—hingga hari ini, cara manusia membuat gambar, mengekspresikan kesakralan pada gambar, pertimbangan memilih hunian dan ruang suci itu senantiasa ajek.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah hubungan antara gambar cadas dan permakaman dalam gua itu. “Apakah itu semasa dengan permakaman, kita belum tahu.” Meski belum dapat dipastikan sepenuhnya, Pindi menduga bahwa gambar cadas itu bisa jadi terkait proses pemakaman di gua ini.
“Gambar cadas itu dibuat pada suatu proses yang berulang-ulang,” ujarnya, “Kalau dihubungkan dengan permakaman di gua, ada proses penguburan yang berkali-kali pula.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR