"Sssttt..! Ada bayi sedang tidur nyenyak,” ujar Truman Simanjuntak seraya mengacungkan jari telunjuk di bibirnya, “Jangan diganggu, ya.”
Mengenakan topi rimba biru dan bertelanjang kaki, lelaki berkaca mata itu berdiri di tepian petak ekskavasi Gua Harimau. Dia menunjukkan kepada saya sebuah rangka perempuan yang dikuburkan bersama sang bayi yang terbaring di perutnya.
Perempuan ras Mongoloid itu diduga hidup 2.000-an tahun silam. Lengan kirinya mengenakan sebuah gelang perunggu berbentuk bulat. Sementara, cangkang kerang seukuran rentangan telapak tangan orang dewasa melekat di tempurung kaki kanannya. “Cangkang dan gelang itu adalah bekal kuburnya,” kata Truman. “Paling tidak, dia adalah orang terpandang sehingga saat meninggal dipasangkan dengan bekal kuburnya.”
Di sekitar rangka yang melambangkan kehangatan ungkapan kasih ibu itu terdapat serakan tulang dan puluhan rangka manusia yang sebagian masih utuh. “Kita beruntung menemukan rangka dan bekal kubur ini karena semuanya masih utuh.”
Beberapa rangka lainnya berbekal kubur berupa buli-buli dan cawan tembikar. Dua tahun lalu, dua buah kapak perunggu dan satu mata tombak perunggu berhasil diangkat dari permakaman dalam gua ini. “Kita bermimpi mendapatkan bekal kubur emas,” katanya, “tetapi sampai sekarang belum muncul juga. Mestinya di periode itu sudah dikenal logam emas.”
Truman adalah ketua tim penelitian arkeologi dan profesor riset dari Pusat Arkeologi Nasional di Jakarta, sekaligus Direktur Pusat Studi Prasejarah dan Austronesia. Bersama timnya, lelaki berbadan tinggi dan tegap itu telah melakukan serangkaian penelitian dan ekskavasi di gua itu sejak 2009. Pada tahun pertama, mereka telah menemukan kubur-kubur kuno dan serangkaian panil gambar cadas prasejarah di dua galerinya.
“Gua ini memang spektakuler!” ujarnya bersemangat, “Ini adalah gambar cadas pertama yang ditemukan di Sumatra!” Kenyataan itu telah mengandaskan asumsi para ahli arkeologi sebelumnya. Selama ini mereka menyatakan budaya gambar cadas tidak menyentuh Sumatra, namun tersebar di Indonesia Timur dan wilayah lainnya. “Sejak saat itu, opini pun berganti,” ungkapnya, “bahwa kini hanya Jawa yang tak tersentuh budaya gambar cadas.”
Sampai awal Desember 2012, dalam cakupan penggalian hampir seukuran separuh lapangan bulu tangkis, Truman dan timnya telah menemukan 66 kerangka manusia yang bersemayam di gua itu. Jumlah temuan ini diperkirakan masih akan terus bertambah. “Tulang-tulang panjang berseliweran ke mana-mana,” ujarnya. “Sangat membingungkan kalau melihat itu.”
!break!
Boleh jadi itu sebuah permakaman dalam gua yang sangat padat. Buktinya, banyak temuan serakan rangka tak utuh dan tak beraturan. Tampaknya ketika mengubur jenazah, mereka mengesampingkan kubur lama untuk memberi tempat bagi yang baru.
Sementara ini berdasarkan temuan, Truman menduga kehidupan komunitas manusia di Gua Harimau telah ada sejak 3.000 tahun silam. Semuanya terawetkan dan tidak ada yang mengusik “hanya eolia yang datang membawa debu pelan-pelan.”
Gua ini berada dalam keheningan bentang alam karst Baturaja, pedalaman Sumatra Selatan. Tepatnya, sebuah rongga purba di tebing Bukit Karangsialang, Desa Padangbindu. Gua ini memang unik untuk hunian karena mirip shelter dengan mulut gua memanjang. Ruang dalamnya kira-kira sepanjang tiga buah bus Transjakarta plus satu minibus, cukup mendapatkan cahaya matahari dan sirkulasi udara.
Tanahnya datar dan kering. Luas ruang dalam gua pun lega setara delapan lapangan bola voli, sementara langit-langitnya setinggi bangunan berlantai empat. Cocok untuk hunian prasejarah.
Satu hal lagi yang membuat gua ini memenuhi persyaratan sebagai hunian: Sungai Ayakamanbasah yang mengalir di bawah lereng gua kemudian bermuara di Sungai Ogan. Sejak ribuan tahun yang lalu—bahkan hingga kini —masyarakat sekitarnya masih sangat bergantung pada kedua aliran sungai itu.
Gugusan perbukitan dan dataran karst sekitar gua merupakan bagian dari sisi lereng timur Pegunungan Bukit Barisan. Beberapa gua dan ceruk alam sekitar aliran sungai di kawasan itu telah menarik manusia prasejarah untuk berteduh dan bermukim.
“Gua ini sungguh menjanjikan,” ungkap Truman, “karena selama ini Sumatra mengalami kekosongan hunian sebelum 12.000 tahun yang lalu.” Apakah Sumatra benar-benar pulau tak berpenghuni pada 60.000 hingga 12.000 tahun silam? Itu adalah pertanyaan besar yang selalu berkecamuk di benak Truman.
Pasalnya, kepulauan Indonesia lainnya telah dihuni manusia modern sejak 45.000-30.000 tahun lalu. Pulau-pulau kecil di Indonesia timur pun sudah dihuni pada periode itu, bahkan manusia modern sudah mencapai Australia sekitar 60.000-50.000 tahun silam.
!break!
Kekosongan hunian pada masa itu juga bertentangan dengan kondisi geografis pulau Sumatra yang menghubungkan kawasan kepulauan dan daratan Asia Tenggara. “Padahal Sumatra merupakan pintu masuk manusia bermigrasi.”
Di Sumatra, hunian tertua dari masa 12.000 tahun silam yang dia maksud adalah gua prasejarah di Langkat, Sumatra Utara. Selanjutnya gua di Tianko Panjang, Jambi, sekitar 10.000-11.000 tahun lalu, dan Nias yang bertitimangsa 9.000 tahun lalu.
Sementara di sekitar Padangbindu, Pusat Arkeologi Nasional dan Institut de recherche pour le développement (IRD) pada paruh pertama dekade silam melakukan survei dan penelitian bersama pada gua-gua hunian. Hasilnya, gambaran gua hunian sekitar 9.000 tahun lalu di Gua Pandan dan sekitar 5.000 tahun lalu di Gua Silabe. Temuan di Gua Silabe mirip dengan Gua Harimau dalam hal cara bertahan hidup, peranti, dan sistem penguburan.
“Saya masih bisa menerima kalau di Sumatra bagian utara sekitar 70.000 tahun lalu tidak ada hunian,” ujarnya.
Kedahsyatan letusan Toba sekitar 74 ribu tahun silam telah meluluhlantakkan kehidupan di sana—bahkan abunya sampai ke Afrika—sehingga melambatkan perkembangan manusia. Akibatnya, bukti kehidupan manusia di Sumatra bagian utara yang tertua sejauh ini berasal dari 12.000 tahun silam.
“Namun, Sumatra bagian selatan tidak sefatal bagian utara,” ujarnya lirih. “Ini yang menjadi tantangan kita menemukan sisa permukiman prasejarah untuk mengisi kekosongan data hunian Sumatra sekitar 50.000 tahun.”
Truman lalu mengajak saya ke sebuah petak ekskavasi lain yang lokasinya di tengah gua. Dia menjelaskan, bahwa tidak semua manusia di sini dikuburkan dengan posisi telentang. Ada pula penguburan terlipat, atau setengah terlipat—mirip posisi bayi dalam kandungan. Bahkan, timnya menemukan tak hanya kubur individual, tetapi juga kubur berpasangan. “Sangat kompleks!” serunya.
Mereka pada umumnya terbujur dengan orientasi ke timur-barat, sedangkan gua menghadap ke tenggara. Jadi, dengan melihat posisi rangka dan cara penguburannya, Truman sudah yakin bahwa peradaban saat itu telah didasari konsepsi sistem kepercayaan.
!break!
Harry Widianto, ahli paleoantropologi dan Kepala Pengelola Museum Purbakala Sangiran, turut membantu tim Truman. Menurut laporan penelitiannya untuk Pusat Arkeologi Nasional, terdapat penyakit karies gigi serius pada sebagian rangka. Dia menduga penyakit ini disebabkan pola makan berkarbohidrat tinggi.
Tampaknya mereka telah mengembangkan pertanian dan mulai meninggalkan peradaban berburu. “Padi, talas, dan umbi-umbian akan memberikan sisa-sisa makanan yang lebih melekat pada gigi," tulisnya, "dibandingkan yang terjadi pada para pemburu dan peramu.”
Bahkan, Harry menulis temuan seorang lelaki dewasa di gua itu menderita karies kronis pada mahkota gigi, akar gigi, hingga tembus ke bagian rahang bawahnya. “Kondisi penyakit seperti ini akan memberikan rasa sakit luar biasa pada si penderita.”
Saya berjongkok di salah satu kubur berpasangan. Rangka itu milik lelaki yang terbaring seraya berpelukan dengan rangka perempuan. Rahang si lelaki yang terbuka dengan gigi-geliginya yang tak utuh lagi seolah tertawa sembari mengisahkan kebahagiaannya yang abadi kepada kami.
“Kemesraan ini janganlah cepat berlalu...,” dendang Truman yang ternyata sudah berdiri di samping saya sembari menirukan sebaris lagu populer.
Malam tak berbulan kian menghilir di sebuah rumah panggung kayu beratap limasan tradisi Sumatra Selatan, April 2012. Deretan jendela bukaan sampingnya menghadap jalan raya Baturaja-Muaraenim. Permukiman ini sangat unik karena arsitekturnya seragam, termasuk posisi tangga masuk yang selalu di sisi timur.
“Supaya orang yang masuk rumah tidak mengganggu penghuni yang sedang salat—kiblat di barat,” kata seorang warga senior. “Namun,” ujarnya sambil menerawang, “kami tak sanggup membeli kayu lagi apabila rumah ini rusak.”
Selama dua minggu rumah milik seorang warga Padangbindu itu menjadi pondokan tim Truman.
Di sepanjang langkannya terhampar temuan yang beralas kertas koran: serpihan tembikar, alat-alat serpih obsidian, beliung persegi, peralatan tulang, hingga mata panah dari gigi rusa.
!break!
Sambil duduk bersila dengan menyandarkan badan pada sebuah tiang kayu di ruang tengah, Truman menjelaskan kepada timnya bahwa terdapat dua lapisan budaya dalam kubur-kubur di gua ini. Di bagian atas terdapat lapisan paleometalik dengan indikasi temuan benda-benda logam, sedangkan lapisan bawahnya merupakan warisan budaya neolitik dengan banyaknya temuan alat serpih.
“Budaya neolitik merupakan budaya para Penutur Austronesia,” ungkapnya. “Mereka adalah leluhur kita yang barangkali penghuni awal kawasan ini.”
Hingga kini istilah Austronesia jarang digunakan dalam kajian-kajian arkeologi di Indonesia. Para ahli arkeologi umumnya menggunakan istilah “budaya Neolitik” ketimbang “budaya prasejarah Austronesia”. Meskipun sejatinya istilah Austronesia lebih terkait dengan asal-usul penuturnya.
Istilah Austronesia pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli bahasa asal Austria kelahiran Jerman, Wilhelm Schmidt pada 1899. Menurutnya, di kawasan Asia daratan pernah meruak bahasa Austrik yang dalam perkembangannya terbelah menjadi dua: Bahasa Austroasiatik yang tersebar di Mon-Khmer di Indocina dan Munda di India Selatan; sementara lainnya adalah bahasa Austronesia yang tersebar di Indonesia dan Pasifik. Dalam pemaparan Schimdt, mungkin leluhur Penutur Austronesia berpangkal dari Vietnam.
Menurut Truman, pada paruh kedua masa Pleistosen Atas, sekitar 60.000 tahun silam, manusia beranatomi modern telah mengawali migrasi ke Indonesia. Mereka kelak menjadi leluhur ras Australo-Melanesia sebagai penghuni awal kawasan ini. Ras tersebut pendukung budaya Preneolitik, berteknologi alat-alat serpih dan sisa fauna buruan.
Mereka menyebar sejak awal Holosen, sekitar 11.800 tahun silam. Ras ini juga mendiami gua-gua dengan gaya hidup berburu dan meramu, jauh sebelum para Penutur Austronesia bermukim ke Indonesia.
Penutur Austronesia mulai bermigrasi dan merambahi gua ini sekitar tiga milenium silam. Mereka membawa peradaban Neolitik dengan teknologi beliung persegi dan tembikar.
Ada kemungkinan komunitas itu melakukan perkawinan dengan ras Australo-Melanesia. Perkawinan yang dimaksud tidak hanya perkawinan pasangan lelaki dan perempuan—lalu beranak-pinak—tetapi juga dalam hal percampuran budaya Preneolitik dan Neolitik.
!break!
Namun, Truman melihat dalam perkembangannya ternyata corak budaya Neolitik kian kentara. Tempat hunian mereka pun berpindah dari gua ke tempat terbuka sembari mendomestikasi hewan, bercocok tanam, dan membuat peralatan. Budaya mereka tadi meninggalkan peradaban terakhir masa prasejarah lantaran pada masa berikutnya mereka mendapat pengaruh logam, dan itu terus berlanjut.
Saya bertanya kepada Truman tentang fungsi Gua Harimau pada masa itu, apakah sebagai hunian atau permakaman. “Dua-duanya!” jawabnya singkat dan tegas.
Di Gua Harimau para Penutur Austronesia awal dapat bermukim nyaman lantaran ideal sebagai hunian prasejarah. Mereka juga membawa batu-batu dari sungai lalu memangkasnya menjadi alat kerja di dalam gua. Namun, pada masa yang sama, gua itu juga berfungsi sebagai permakaman apabila ada warga komunitas yang meninggal.
Pendapat Truman didukung bukti melimpahnya temuan alat-alat serpih, alat dari tulang, arang, bahkan serpihan tulang babi dan kerbau yang diduga sampah dapur penghuni gua itu. “Apakah itu semuanya bekal kubur?” dia balik bertanya kepada saya. “Berarti di situ ada kegiatan sehari-hari.”
“Hunian dan permakaman dalam satu gua itu hal yang umum,” ujarnya. Budaya seperti itu dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Namun, kekhususan Gua Harimau dibandingkan gua-gua lain adalah permakaman yang berada di tengah aktivitas sehari-hari. “Yah, itu tidak masalah bagi mereka penghuni gua ini,” ungkapnya, “karena ruangan gua itu sangat luas.”
Truman juga menolak anggapan bahwa gua tersebut merupakan kuburan massal. “Saya menduga kuburan itu telah dipakai selama beribu tahun sejak 3.000 tahun lalu,” ujarnya berdasar temuan artefak.
Kirana sang rawi bangkit menghangatkan tebing-tebing karst Padangbindu. Pagi itu tim peneliti menuruni tangga kayu rumah panggung untuk bersiap memulai perjalanan kembali ke Gua Harimau.
Truman berjalan paling depan dengan topi rimba birunya, ransel, dan sepatu bot selutut warna zaitun keruh. Usai melewati perkampungan, kami menyusuri titian kayu bertali kawat baja sejauh hampir 50 meter yang selalu berayun apabila ada yang lewat. Di bawah, tampak warga tengah mandi dan mencuci baju di derasnya Sungai Ogan.
Ketika menanjak di kerindangan hutan, segerombolan monyet terkejut melihat kami, lalu jejeritan dan lintang-pukang di sela pepohonan hutan yang kian lebat. Tampak bentangan Bukit Karangsialang dengan tebing putih kontras yang digelayuti tanaman merambat. Seolah sebagai penanda bagi pendatang, di tebing putih itulah gua yang membekukan peradaban purba itu bersemayam. Terlihat begitu anggun!
!Break!
Kian siang, tonggeret serempak berdering nyaring mengiringi Fadlan S. Intan, ahli geologi dalam tim itu, yang tengah memeriksa temuan bebatuan dari ayakannya di serambi gua. Saya bertanya seputar kawasan karst di sini. Fadlan mengambil ranting lalu menggoreskannya di tanah. “Jadi kalau lihat di peta,” tunjuknya, “karst Baturaja ini hanya di tengah saja seperti lensa—elips.”
Berbeda dengan karst di Kalimantan dan Sulawesi yang jauh lebih luas. Dalam batuan karst Baturaja, kerap muncul bebatuan lain sehingga menghasilkan sumber batu untuk peralatan zaman itu. “Gua hunian di sini banyak, bisa dirangking seperti hotel,” ungkap Fadlan.
Selama lima tahun belakangan ini, dia telah menyurvei gua-gua perbukitan karst sekitar sini. Hasilnya, paling sedikit 38 gua dan ceruk yang umumnya berpotensi sebagai hunian prasejarah. “Menurut saya cukup padat,” ujarnya sambil mengalungkan kaca matanya. “Barangkali karena daerah ini tidak terlalu luas sehingga mereka memanfaatkan semua gua.”
Saya mengamati batuan hematit yang ditemukan Fadlan dalam ayakannya. Batuan ini diduga menjadi sarana para manusia prasejarah melukis di dinding gua. Terdapat sebelas panil gambar cadas prasejarah di gua ini. Semuanya merupakan panil-panil imaji gerigis yang terdiri atas gabungan garis-garis dan/atau titik-titik.
Pada 2010 Pindi Setiawan, selaku anggota tim Truman dari Pusat Penelitian Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung, menyelisik temuan gambar cadas gua ini. “Di Bukit Karangsialang masih ada gua yang lebih luas dan lebih tinggi lokasinya,” ujarnya, “Namun Gua Harimau-lah yang termegah.”
Saya menjumpai Pindi di sebuah gerai kopi di Kembangan, Jakarta Barat. Lelaki itu telah berpengalaman meneliti gambar cadas yang tersebar di gua-gua seantero Tanah Air sejak lebih dari 15 tahun lalu. Rupanya, kegemaran Pindi dalam petualangan alam liar bersama Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung Wanadri telah tersalurkan dalam serangkaian penjelajahan gua yang dilakoninya.
Sebagai temuan gambar cadas pertama di Sumatra, Pindi berharap gua ini dapat melengkapi sejarah ke-Nusantara-an. Dia mencoba menghubungkan antara gambar cadas dan aspek keruangan Gua Harimau terhadap lingkungan sekitar.
Menurutnya, gambar cadas merupakan imaji yang mengandung informasi tentang peristiwa penting bagi masyarakat penggambarnya—bukan aktivitas harian. Imaji dalam gua ini tampaknya terkait dengan suatu kejadian sakral pada masyarakat yang tidak lagi sekadar berburu-meramu, tetapi juga bertani, berhierarki sosial, dan telah mengenal hubungan pertukaran barang.
!break!
Pendapatnya sedikit berbeda dengan Truman dalam hal fungsi gua ini. Menurut Pindi, para Penutur Austronesia awal yang datang dengan teknologi pertanian dan perahu itu sudah tidak lagi menggunakan gua sebagai hunian utamanya. Mereka sudah membangun pondok-pondok. “Yang menjadi masalah adalah sampai sekarang kita belum menemukan kampungnya,” ujar Pindi.
Mereka memandang gua sebagai tempat yang penting bagi pemenuhan kebutuhan integratif. Jadi, ketika gambar cadas dilukis, tampaknya gua berfungsi sebagai tempat sakral. “Saya tidak begitu yakin gua ini untuk dihuni,” ujarnya “kalau dihuni pun sifatnya sementara.”
“Gua Harimau sepertinya berfungsi sebagai peribadatan,” ungkapnya. “Ada indikasi kuat.” Pertimbangannya adalah gua ini memiliki panorama yang bagus, terlihat dari jauh lantaran berciri dinding putih, berkesan bersih, dan dekat sumber air.
“Itu berulang di seluruh Indonesia,” kata Pindi, “bahwa gua-gua yang digunakan sebagai tempat upacara sakral mempunyai ciri khas seperti itu.”
Siapa si perajah gambar cadas itu? Tampaknya dia bukan seorang kepala suku, melainkan seorang tokoh—sang syaman—yang berkaitan dengan konsepsi kepercayaan. Di dunia ini jarang sekali pemimpin negara yang sekaligus merangkap sebagai pemimpin agama. Dan, peradaban Penutur Austronesia yang datang ke Sumatra telah mengenal sistem pembagian kerja dan stratifikasi sosial.
Gambar cadas memang selalu berkait dengan kegiatan sakral, namun tidak harus di tempat suci. Bisa jadi gambar itu ditemukan juga di gua hunian. “Ibarat kita menemukan sajadah, tidak berarti ruangan itu adalah masjid.”
Ada dua pembahasan menarik yang diungkapkan Pindi soal imaji yang ditampilkan dalam panil-panil gambar cadas itu. Dia menyebutnya: “imaji jala-tumpal” dan “imaji garis-lengkung sejajar.”
Imaji jala-tumpal tidak dibuat dengan spontan, namun dengan penuh kehati-hatian. Ini merupakan citra yang mewakili suatu arti yang terkait peran eksklusif gua megah ini. Artinya, hasil akhir lukisan itu lebih penting ketimbang proses membuatnya. Perumpamaannya “seperti saat membuat salib, tidak masalah kalau kayu-kayu bakalnya terinjak-injak,” ujarnya. “Namun begitu selesai, salib harus ditempatkan di atas.”
Sementara imaji garis-lengkung sejajar dibuat spontan sehingga tampaknya dibuat tatkala trance. “Menariknya,” sambung Pindi, “jika diminta melukis, semua orang di dunia yang berada di ambang sadar biasanya akan membuat garis-lengkung sejajar!” Dia pun menamsilkan budaya piramida yang berulang di seluruh dunia. “Kalau ada orang bikin piramida di Mesir, di Maya pun membuat hal yang sama.”
!break!
Imaji garis-lengkung sejajar ini menunjukkan bahwa proses melukisnya lebih penting daripada hasil akhirnya, sehingga imaji ini boleh ditimpa dengan imaji lainnya. Persis seperti di Bali ketika “orang khusyuk beribadah dengan sesaji kembang,” katanya, “namun, mereka tidak soal apabila usai ibadah sesaji itu digilas mobil.”
Di ambang sadar, sang syaman melakukan tarian keramat sambil melumuri tangannya dengan turap dari luluhan batuan hematit. Lalu, “jari-jarinya menyentuh dinding gua sebagai hubungan langsung dengan portal dunia lain.”
Ada hal istimewa soal gambar cadas gua ini. Jika lazimnya panil gambar cadas disajikan untuk semua pemirsanya, ada satu gambar cadas yang diciptakan hanya untuk si perajah sendiri. Letaknya di balik batuan yang menggantung.
Pindi kembali memberikan perumpamaan untuk gambar istimewa itu. "Sama seperti gambar pada wayang beber, adegan terakhir itu hanya boleh dilihat oleh beberapa orang tertentu."
“Memang konteks cara berpikir kita tidak berubah,” ungkapnya. Semenjak manusia pertama—Homo sapiens—hingga hari ini, cara manusia membuat gambar, mengekspresikan kesakralan pada gambar, pertimbangan memilih hunian dan ruang suci itu senantiasa ajek.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah hubungan antara gambar cadas dan permakaman dalam gua itu. “Apakah itu semasa dengan permakaman, kita belum tahu.” Meski belum dapat dipastikan sepenuhnya, Pindi menduga bahwa gambar cadas itu bisa jadi terkait proses pemakaman di gua ini.
“Gambar cadas itu dibuat pada suatu proses yang berulang-ulang,” ujarnya, “Kalau dihubungkan dengan permakaman di gua, ada proses penguburan yang berkali-kali pula.”
Truman pun belum yakin apakah kedua hal itu saling berhubungan karena harus melalui uji pertanggalan. Namun, dari pengamatan sementara ini tampaknya ada kaitan gambar cadas dan temuan serpihan tembikar di sekitar rangka.
Yakni, pola hias duri ikan pada serpihan tembikar itu mirip dengan salah satu pola hias gambar cadas. Barangkali, si perajah dan pembuat tembikar itu berasal dari masa yang sama.
!break!
Hingga kini, belum ditemukan fakta prosesi bagaimana budaya pemakaman di Gua Harimau. Saya menjumpai Vita, seorang ahli biologi dalam tim tersebut, yang saat itu tengah membungkus spesimen-spesimen tanah dari sekitar rangka dengan foil aluminium.
“Satu-satunya yang mewakili tumbuhan masa itu bisa diketahui dari fosil serbuk sari dekat rangka,” ujarnya. “Kemungkinan mereka telah memanfaatkan tanaman untuk upacara pemakaman itu.”
Dalam upacara pemakaman, “mereka cenderung memakai bunga-bunga berwarna putih dan wangi,” ungkap Vita. Aneka bunga itu dari tanaman melati-melatian, jenis durian, kopi-kopian, semak dan perdu. Pemaparannya, dalam sejarah peradaban manusia bunga-bunga dari jenis tersebut telah dipakai sebagai sumber kehidupan dan religi—simbol pertalian antarmanusia atau antara manusia dan Sang Pencipta. “Warna putih,” ungkapnya, “melambangkan kesucian, kepercayaan, kejujuran, dan perkabungan.”
Lalu, kenapa gambar-gambar cadas itu tetap lestari bahkan hingga ribuan tahun? Menurut Pindi, si perajah melukis gambar cadas itu di dinding yang lindap dan tidak basah. Juga, selama itu hutan sekelilingnya selalu terjaga dengan baik. “Kalau ingin mempertahankan gambar cadas, kita harus mempertahankan kelestarian lingkungan juga,” ujarnya.
Saya jadi teringat kisah Fadlan yang dua tahun lalu masih melihat bukit menghijau di barat daya gua, namun kini menggundul dan sebagian menjadi kebun kelapa sawit. Dia khawatir menjamurnya perkebunan akan memengaruhi tingkat kelembapan dan temperatur kawasan ini.
Selain banjir yang akan menurunkan kualitas karst, perubahan iklim akan berakibat pada temuan gua ini: rangka-rangka yang kian merapuh saat terpapar udara dan melunturnya gambar cadas. “Mungkin ini tidak pernah terpikirkan.”
Pagi yang menghentak bagi Truman dan timnya jelang hari penutupan petak-petak ekskavasi permakaman kuno. Seorang anggota tim melaporkan bahwa gelang perunggu milik rangka perempuan yang dikuburkan bersama bayinya itu telah raib.
Sepertinya, seseorang telah mencuri gelang itu usai tim meninggalkan gua pada sore sebelumnya. Si pencuri tampaknya mengambil dengan terburu-buru sehingga gelang itu patah separuh. “Jadi sekarang tinggal separuh,” ujar Truman yang pegal hati, namun tidak bisa berbuat banyak. “Sisanya masih tertanam.”
!break!
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, saya bertemu kembali dengan Truman di ruangan kantornya di Pejaten, Jakarta Selatan. Dia mengabarkan bahwa pencuri itu telah diurus oleh kepala desa setempat. Menurut pengakuan, si pencuri sangat yakin benda itu dapat menjadi jimat yang mendatangkan keberuntungan, keberanian, dan kekebalan.
Sayangnya, gelang separuh yang di tangan si pencuri pun kini tinggal secuil lantaran sudah dipotong-potong dan dibagikan ke teman-temannya. “Saya tidak tertarik lagi untuk mengetahui siapa yang mengambilnya,” kata Truman dengan masygul, “karena barang itu sudah hilang.”
Kejadian perusakan arkeologis bukan hanya terjadi sekali. Beberapa tahun silam, rangka-rangka manusia prasejarah di Gua Silabe hasil kerja keras timnya juga dijarah. Tampaknya sekelompok orang tak bertanggung jawab itu mengira adanya harta karun.
Penemuan kubur kuno dan gambar cadas di Gua Harimau telah membuka pengetahuan baru tentang sosial budaya dan konsepsi kepercayaan para Penutur Astronesia awal yang mendiami sisi selatan Sumatra. Semakin banyak temuan rangka, semakin banyak pula rangkaian pertanyaan yang timbul dan berputar-putar di benak Truman.
Mengapa banyak rangka yang telentang, namun banyak pula yang terlipat? Mengapa tak semua dikuburkan dengan orientasi timur-barat? Apakah kubur berpasangan itu meninggal saat bersamaan? Apakah kubur berpasangan itu pasti ada satu yang dikorbankan?
Apakah rangka manusia di permakaman itu bertalian dengan penduduk Padangbindu masa kini? Apakah nantinya gua ini menjawab kekosongan data hunian Sumatra yang lebih tua? “Masih banyak pertanyaan yang belum bisa kita jawab,” kata Truman.
Harapannya, penelitian ini kelak didukung berbagai disiplin keilmuan, kemudian disintesakan bersama. Saat ini dia masih mencoba merekonstruksi kehidupan gua walaupun dengan data terbatas. “Ilmu pengetahuan berkembang terus. Apa yang kita katakan sekarang tidak harus menjadi kebenaran mutlak,” ujarnya, “Besok berubah pun tidak menjadi masalah.”
Eksplorasi Gua Harimau akan berlanjut tahun ini dengan lebih memfokuskan pada kronologi huniannya melalui ekskavasi vertikal. Meskipun penelitian ini belum menjawab misteri besar Sumatra, tabir jejak peradaban awal pulau keenam terbesar di dunia itu perlahan-lahan mulai tersingkap.
“Kemungkinan besar di gua ini masih ada hunian yang lebih tua lagi,” ujarnya dengan penuh harap. “Sangat menjanjikan!”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR