Truman pun belum yakin apakah kedua hal itu saling berhubungan karena harus melalui uji pertanggalan. Namun, dari pengamatan sementara ini tampaknya ada kaitan gambar cadas dan temuan serpihan tembikar di sekitar rangka.
Yakni, pola hias duri ikan pada serpihan tembikar itu mirip dengan salah satu pola hias gambar cadas. Barangkali, si perajah dan pembuat tembikar itu berasal dari masa yang sama.
!break!
Hingga kini, belum ditemukan fakta prosesi bagaimana budaya pemakaman di Gua Harimau. Saya menjumpai Vita, seorang ahli biologi dalam tim tersebut, yang saat itu tengah membungkus spesimen-spesimen tanah dari sekitar rangka dengan foil aluminium.
“Satu-satunya yang mewakili tumbuhan masa itu bisa diketahui dari fosil serbuk sari dekat rangka,” ujarnya. “Kemungkinan mereka telah memanfaatkan tanaman untuk upacara pemakaman itu.”
Dalam upacara pemakaman, “mereka cenderung memakai bunga-bunga berwarna putih dan wangi,” ungkap Vita. Aneka bunga itu dari tanaman melati-melatian, jenis durian, kopi-kopian, semak dan perdu. Pemaparannya, dalam sejarah peradaban manusia bunga-bunga dari jenis tersebut telah dipakai sebagai sumber kehidupan dan religi—simbol pertalian antarmanusia atau antara manusia dan Sang Pencipta. “Warna putih,” ungkapnya, “melambangkan kesucian, kepercayaan, kejujuran, dan perkabungan.”
Lalu, kenapa gambar-gambar cadas itu tetap lestari bahkan hingga ribuan tahun? Menurut Pindi, si perajah melukis gambar cadas itu di dinding yang lindap dan tidak basah. Juga, selama itu hutan sekelilingnya selalu terjaga dengan baik. “Kalau ingin mempertahankan gambar cadas, kita harus mempertahankan kelestarian lingkungan juga,” ujarnya.
Saya jadi teringat kisah Fadlan yang dua tahun lalu masih melihat bukit menghijau di barat daya gua, namun kini menggundul dan sebagian menjadi kebun kelapa sawit. Dia khawatir menjamurnya perkebunan akan memengaruhi tingkat kelembapan dan temperatur kawasan ini.
Selain banjir yang akan menurunkan kualitas karst, perubahan iklim akan berakibat pada temuan gua ini: rangka-rangka yang kian merapuh saat terpapar udara dan melunturnya gambar cadas. “Mungkin ini tidak pernah terpikirkan.”
Pagi yang menghentak bagi Truman dan timnya jelang hari penutupan petak-petak ekskavasi permakaman kuno. Seorang anggota tim melaporkan bahwa gelang perunggu milik rangka perempuan yang dikuburkan bersama bayinya itu telah raib.
Sepertinya, seseorang telah mencuri gelang itu usai tim meninggalkan gua pada sore sebelumnya. Si pencuri tampaknya mengambil dengan terburu-buru sehingga gelang itu patah separuh. “Jadi sekarang tinggal separuh,” ujar Truman yang pegal hati, namun tidak bisa berbuat banyak. “Sisanya masih tertanam.”
!break!
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, saya bertemu kembali dengan Truman di ruangan kantornya di Pejaten, Jakarta Selatan. Dia mengabarkan bahwa pencuri itu telah diurus oleh kepala desa setempat. Menurut pengakuan, si pencuri sangat yakin benda itu dapat menjadi jimat yang mendatangkan keberuntungan, keberanian, dan kekebalan.
Sayangnya, gelang separuh yang di tangan si pencuri pun kini tinggal secuil lantaran sudah dipotong-potong dan dibagikan ke teman-temannya. “Saya tidak tertarik lagi untuk mengetahui siapa yang mengambilnya,” kata Truman dengan masygul, “karena barang itu sudah hilang.”
Kejadian perusakan arkeologis bukan hanya terjadi sekali. Beberapa tahun silam, rangka-rangka manusia prasejarah di Gua Silabe hasil kerja keras timnya juga dijarah. Tampaknya sekelompok orang tak bertanggung jawab itu mengira adanya harta karun.
Penemuan kubur kuno dan gambar cadas di Gua Harimau telah membuka pengetahuan baru tentang sosial budaya dan konsepsi kepercayaan para Penutur Astronesia awal yang mendiami sisi selatan Sumatra. Semakin banyak temuan rangka, semakin banyak pula rangkaian pertanyaan yang timbul dan berputar-putar di benak Truman.
Mengapa banyak rangka yang telentang, namun banyak pula yang terlipat? Mengapa tak semua dikuburkan dengan orientasi timur-barat? Apakah kubur berpasangan itu meninggal saat bersamaan? Apakah kubur berpasangan itu pasti ada satu yang dikorbankan?
Apakah rangka manusia di permakaman itu bertalian dengan penduduk Padangbindu masa kini? Apakah nantinya gua ini menjawab kekosongan data hunian Sumatra yang lebih tua? “Masih banyak pertanyaan yang belum bisa kita jawab,” kata Truman.
Harapannya, penelitian ini kelak didukung berbagai disiplin keilmuan, kemudian disintesakan bersama. Saat ini dia masih mencoba merekonstruksi kehidupan gua walaupun dengan data terbatas. “Ilmu pengetahuan berkembang terus. Apa yang kita katakan sekarang tidak harus menjadi kebenaran mutlak,” ujarnya, “Besok berubah pun tidak menjadi masalah.”
Eksplorasi Gua Harimau akan berlanjut tahun ini dengan lebih memfokuskan pada kronologi huniannya melalui ekskavasi vertikal. Meskipun penelitian ini belum menjawab misteri besar Sumatra, tabir jejak peradaban awal pulau keenam terbesar di dunia itu perlahan-lahan mulai tersingkap.
“Kemungkinan besar di gua ini masih ada hunian yang lebih tua lagi,” ujarnya dengan penuh harap. “Sangat menjanjikan!”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR