Di tepi ladang yang baru dipotong dan dikeringkan di luar Grand Junction, Colorado, Deputi Sheriff Derek Johnson menyipitkan mata. Ia memandang bintik yang bergerak perlahan di langit cerah berawan tipis. Itulah Falcon—merek baru pesawat terbang tanpa awak, atau singkatnya PTTA, yang sedang diterbangkan Johnson.
Kantor sheriff di Mesa County ini sedang mempertimbangkan potensi Falcon untuk mencari pendaki gunung yang tersesat dan buronan. Perancang pesawat itu, Chris Miser, berdiri di belakang Johnson yang sedang mengamati Falcon.
Dengan paras kaku, tangan terlipat, dan kacamata bertengger di atas kepala gundulnya, Miser adalah mantan kapten Angkatan Udara yang menggarap PTTA militer sebelum keluar dari ketentaraan tahun 2007 dan mendirikan perusahaannya sendiri di Aurora, Colorado.
Falcon memiliki rentang sayap dua setengah meter, tetapi beratnya hanya 4 kilogram. Ditenagai mesin listrik, PTTA ini membawa dua kamera—cahaya tampak dan inframerah—yang dapat digerakkan, serta autopilot yang dipandu GPS. Falcon cukup canggih sehingga tidak boleh diekspor tanpa seizin pemerintah AS.
Menurut Miser, PTTA ini kira-kira sebanding dengan Raven, PTTA militer yang diluncurkan dengan tangan—tetapi jauh lebih murah. Dia berencana menjual dua PTTA dan perlengkapan pendukungnya dengan harga setara mobil polisi.
Undang-undang yang ditandatangani Presiden Barack Obama pada Februari 2012 memerintahkan Federal Aviation Administration (FAA) agar membuka ruang udara AS selebar-lebarnya bagi PTTA sebelum 30 September 2015. Tetapi, sementara ini, Mesa County dengan langitnya yang lengang merupakan salah satu dari sedikit yurisdiksi yang diizinkan FAA untuk menerbangkannya.
Kantor sheriff memiliki PTTA helikopter selebar satu meter yang bernama Draganflyer, yang hanya dapat terbang selama 20 menit. Falcon dapat terbang selama sejam, dan mudah dioperasikan. “Kita tinggal memasukkan koordinat, lalu dia bisa terbang sendiri,” kata Benjamin Miller, yang menangani program PTTA di kantor sheriff itu.
Johnson cukup memasukkan ketinggian dan kecepatan udara yang diinginkan di laptop, lalu mengklik target pada peta digital; sisanya diurus sendiri oleh autopilot. Untuk meluncurkan Falcon, tinggal lemparkan ke udara. Akselerometer baru akan menghidupkan baling-baling setelah pesawat itu mengudara. Jadi, tidak akan memapas tangan yang meluncurkannya.
“Ayo kita suruh dia mendarat,” kata Miser kepada Johnson. Setelah sheriff mengklik di laptop, Falcon menurunkan ketinggian, mengeluarkan parasut jingga terang, dan turun perlahan ke tanah, hanya beberapa meter dari titik yang diklik Johnson.
!break!
Dampak 11 September
Dua belas tahun silam, hanya ada dua komunitas yang menggeluti PTTA. Yang pertama, kalangan penggemar yang menerbangkan pesawat dan helikopter dengan kendali radio, sebagai hobi. Yang lainnya kalangan militer, yang melakukan misi pengintaian dengan PTTA seperti Predator buatan General Atomics.
Lalu terjadilah peristiwa 11 September 2001, disusul serangan AS ke Afganistan dan Irak. PTTA pun segera menjadi alat penting bagi tentara AS. Pentagon memasang rudal pada Predator dan pesawat pengintai tanpa awak yang lebih besar, Reaper, sehingga operatornya—yang duduk di kantor di tempat seperti Nevada atau New York—dapat menghancurkan dan memata-matai target yang terletak ribuan kilometer jauhnya.
Perusahaan dirgantara memproduksi armada PTTA kecil dengan cip komputer yang makin pintar dan sensor yang makin peka—kamera, tetapi juga alat yang mengukur zat kimia, patogen, dan bahan radioaktif di udara. Saat ini AS menggunakan lebih dari 11.000 PTTA militer. Padahal, pada 2002, jumlahnya tidak sampai 200.
PTTA ini menjalankan beraneka ragam misi sekaligus memangkas biaya dan korban jiwa tentara Amerika. Dalam satu generasi lagi, PTTA dapat menggantikan hampir semua pesawat militer berawak, kata John Pike, pakar pertahanan di lembaga think tank GlobalSecurity.org.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR