Lalu naik lagi, kecepatannya melambat sehingga tampak seperti terbang stasioner di atas kami. Smith menyeringai ke arah saya. “Pesawat ini benar-benar dapat berakrobat,” katanya. Beberapa kilometer dari Wright-Patterson terdapat Air Force Institute of Technology, pusat penelitian PTTA militer. Pintu masuknya dihiasi patung perunggu berbentuk lelaki bersayap yang kusut, Icarus—lambang keberanian penerbangan dan kesalahan terbang yang fatal.
!break!
Di salah satu laboratoriumnya, John Raquet sedang merancang sistem navigasi baru untuk PTTA. GPS itu rawan gangguan, jelasnya. Sinyalnya dapat terhalang oleh gedung atau dikacaukan orang dengan sengaja. Pada Desember 2011, saat PTTA CIA jatuh di Iran, pihak berwenang di sana menyatakan bahwa mereka menyesatkannya dengan meretas GPS-nya.
Tim Raquet sedang menggarap sistem yang memungkinkan PTTA juga melakukan navigasi visual, seperti pilot manusia, dengan menggunakan kamera dan perangkat lunak pengenal pola. Sasaran laboratorium itu, sebagaimana yang ditegaskan Raquet berulang kali, adalah menciptakan “sistem yang dapat dipercaya.”
Menurut Raquet, PTTA yang dilengkapi dengan sistem navigasi visual bahkan mungkin dapat mengenali kabel listrik dan menyedot listrik dari kawat itu dengan “kait batman”, mengisi ulang daya baterainya sambil terbang. (Ini terhitung mencuri, jadi Raquet tidak menganjurkan orang sipil melakukannya.)
Dia memperlihatkan teknik itu kepada saya dengan PTTA segi empat yang memiliki rotor di setiap sudut. Saat percobaan pertama, PTTA yang mendengung seperti sarang tawon mengamuk itu terbalik. Saat mencoba kedua kali, PTTA itu menabrak tembok. “Ini menunjukkan perlunya rasa percaya,” kata Raquet sambil tersenyum canggung.
Akhirnya quadrotor itu berhasil terbang dan mencantolkan kait pada kabel yang terentang di ruangan.
Di ujung lorong dari lab Raquet, Richard Cobb berusaha membuat PTTA yang bisa “luput dari pandangan”. DARPA, Defense Advanced Research Projects Agency, menantang para peneliti membuat PTTA dengan ukuran dan perilaku yang menyerupai kumbang dan burung.
Cobb menjawab tantangan itu dengan membuat robot ngengat, yang sayapnya terbuat dari serat karbon dan Mylar. Mesin piezoelektriknya mengepakkan sayap 30 kali per detik, demikian cepat sampai sayapnya tampak kabur. Namun, untuk membuat PTTA seukuran kumbang yang dapat terbang lebih dari beberapa menit, masih perlu banyak pengembangan dalam teknologi baterai. Cobb memperkirakan perlu waktu sepuluh tahun lebih.
Namun, Angkatan Udara sudah membuat “mikroaviari” di Wright-Patterson untuk uji terbang PTTA kecil. Mikroaviari tersebut berupa ruangan raksasa—tinggi 10 meter lebih dengan luas sekitar 350 meter persegi—dengan tembok berlapis bantalan.
Para peneliti mikroaviari, yang sebagian besar melakukan pekerjaan rahasia, tidak mengizinkan saya menyaksikan uji terbang. Tetapi, mereka menunjukkan video animasi PTTA mikro yang mirip dengan kawanan serangga bersayap dan berkaki banyak. PTTA itu terbang bergerombol menyusuri gang, merayap di kosen jendela, dan bertengger di kabel listrik.
Salah satunya mendekati diam-diam seorang lelaki sangar yang sedang memegang pistol, lalu menembak kepala lelaki itu. Video itu berakhir, “Senyap, selinap, lenyap: PTTA mikro.”
!break!
Orang mungkin terpikir, apa yang menghalangi teroris dan penjahat memiliki PTTA maut semacam ini? Meskipun pejabat Amerika jarang membahas ancaman itu di depan umum, mereka menanganinya secara serius. Kelompok Islam militan Hizbullah, yang berbasis di Lebanon, mengatakan mereka mendapat PTTA dari Iran.
November lalu, pengadilan federal AS menjatuhkan hukuman penjara 17 tahun kepada seorang lelaki Massachusetts karena merencanakan menyerang Washington, D.C., dengan PTTA berpeledak C-4. Kata sebagian insinyur, ancaman serangan PTTA harus dilawan dengan PTTA juga.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR