Saya pun teringat pada suatu siang yang cerah pada Agustus 2002, saat meninggalkan Kota Makale, Tana Toraja. Kelokan-kelokan tajam mengantarkan saya melewati rangkaian Pegunungan Rantemario, tertinggi di Sulawesi Selatan yang puncaknya dikerubuti kabut. Selepas daerah Rapang saya bisa merasa lega, karena perjalanan tak lagi mengocok isi perut.
Menurut cerita-cerita Bugis masa lalu, di sekitar daerah ini dahulu pernah terdapat jalur air, yang membuat mereka mampu berlayar dari Selat Makassar menuju Teluk Bone. Jalur air itu kini hanya menyisakan Danau Tempe serta Danau Sidenreng.
Jika Jatna Supriatna—ahli konservasi dan dewan pakar majalah ini—mencurigai adanya rawa di daerah itu, Haryadi menduga hal lain. “Jika melihat karakteristik arus di Selat Makassar yang deras bahkan hingga sekarang, bisa jadi selat yang dulu ada ini juga dialiri air yang deras pula,” paparnya sambil meneliti peta geologi melalui proyektor di layar di kantornya.
!break!
Apa konsekuensi dari keadaan Sulawesi yang unik ini terhadap makhluk hidup yang ada di permukaanya? Pada 2003, Jatna Supriatna serta Ben J. Evans memublikasikan jurnal ilmiah mereka tentang garis batas pembeda makaka serta kodok di seantero Sulawesi, berdasarkan penelitian DNA mitokondria.
Hasilnya, enam garis berhasil mereka tarik sebagai pembatas antarspesies dua satwa tersebut. Jatna menyatakan, banyak publikasi yang menggambarkan makaka datang dari barat, saat daratan Kalimantan dan Sulawesi hanya terpisahkan oleh celah sempit—menurut Haryadi sekitar 20 ribu tahun silam.
“Hal yang amat menarik adalah, diferensiasi makaka di Sulawesi ini terjadi begitu cepat,” Jatna mengemukakan rasa penasarannya. “Makaka yang ada di Sumatra dan Jawa kan sama, Macaca fascicularis, bahkan sampai Bali, hanya ada perbedaan genetis. Sementara di sini, hanya beda beberapa kilometer saja kita sudah menemukan spesies yang berbeda,” lanjutnya sambil mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di atas peta Sulawesi.
Januari tahun lalu, saya mengunjungi lengan utara Sulawesi, tepatnya Bitung, sebuah daerah yang menghadap ke arah Laut Banda. Fakta berada di atas lapisan kompleks bebatuan yang masih muda ini semakin terasa saat dari kejauhan, kawanan Macaca nigra berambut hitam kadang bagai lenyap disarukan oleh pasir pantai yang tak kalah legamnya.
Amat berbeda dengan Macaca maura di selatan pulau, yang warnanya lebih muda dan hidup di atas batuan yang datang dari era yang lebih tua. Jatna berteori bahwa Sungai Dumoga adalah pembatas antarspesies Macaca nigra di bagian utara dan Macaca nigrescens, si tetangganya. Haryadi mendukung pendapat ini dari sisi kegunungapian.
“Gunung Soputan dan Lokon lumayan aktif. Jika sekarang saja hampir setiap tahun ada embusan asap, mungkin sepuluh ribu atau dua puluh ribu tahun yang lalu, lebih aktif lagi,” ungkapnya.
Di kantor geoteknologi lipi, saya dan Haryadi terus menelusuri garis-garis pembatas yang dipaparkan dalam penelitian Jatna dan Evans. Selain aliran air serta gunung api, Haryadi juga menemukan garis batas tepat di atas sesar, yang sama dengan pembentuk Matano.
“Satwa sangatlah sensitif. Gempa dua atau tiga skala Richter bisa mereka rasakan. Bisa jadi mereka menjauhi pusat geseran itu,” duganya.
!break!
Sulawesi dengan kerumitan serta keunikannya memang masih menyimpan berjuta misteri yang masih harus dipecahkan oleh para peneliti. Morfologi pulau ini menjadikan satwa di atasnya memiliki endemisitas tinggi dengan hitungan jarak yang dekat.
Bahkan, menurut Jatna, keberagaman spesies tarsius dibatasi hanya oleh ketinggian yang berbeda. “Sulawesi adalah salah satu dari tiga tempat yang amat menarik bagi penelitian biologi di dunia, selain Madagaskar dan Galapagos,” ungkapnya.
Menurutnya, diperlukan penelitian yang terus berkesinambungan selama puluhan tahun untuk memahami pulau nan unik ini. Tak heran jika beberapa peneliti luar negeri bersikukuh mendirikan stasiun riset selama berdekade-dekade di tanah Sulawesi. Suatu hal yang hingga kini masih sebatas cita-cita bagi peneliti di dalam negeri sendiri karena terbatasnya aliran dana penelitian.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR