DHC Dash 7, pesawat mungil berpenumpang sekitar 40 orang ini membawa saya keluar dari bentangan saput awan, mendekati rupa bumi Sulawesi Selatan. Saat sedang keasyikan memandangi bentang alam bertatah hijau perbukitan, muncullah pemandangan menakjubkan.
Tasik biru pekat terhampar di depan mata, menguarkan kharisma penuh misteri. Bisingnya mesin tak lagi terhiraukan. Napas saya tertahan. Inilah Matano, danau yang lahir empat juta tahun silam.
“Matano memiliki lebih banyak spesies ikan endemik dibandingkan danau lainnya di Sulawesi,” ungkap Lukman, peneliti Limnologi LIPI. “Lihat saja ikan-ikan Thelmaterina, tubuhnya berwarna-warni, mirip ikan laut. Padahal, ikan danau di tempat lainnya rata-rata berwarna gelap, hitam atau cokelat,” paparnya.
Haryadi Permana, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI yang setelah itu saya temui di Bandung menjelaskan, Matano adalah danau yang terbentuk akibat pergerakan sesar yang saling bergesekan, hingga detik ini.
“Danau ini seperti disobek dan ambles karena sesarnya bergerak,” ungkapnya sambil meniru pergerakan sesar dengan kedua lengannya. Bagian utara danau bergeser ke kiri, sementara bagian selatan bergerak ke kanan sekaligus menariknya ke bawah.
“Matano bukanlah danau yang simetris. Di satu sisi, dia memiliki kedalaman hingga 700 meter,” lanjutnya. Titik dasar danau ini bahkan melebihi permukaan laut yang mengelilingi pulau tempatnya bersemayam. Layaklah jika Matano mendapat titel danau terdalam keenam di dunia.
Matano hanya sebagian kecil dari daya tarik Pulau Sulawesi yang menjadi magnet bagi para peneliti geologi serta biologi karena karakteristiknya, yang bisa ditelusuri hingga puluhan juta tahun silam. Pada kala Paleosen, sekitar 60 juta tahun yang lalu, sebuah dataran memanjang mulai memecahkan diri dari sisi timur Kalimantan.
Kini, bagian itu telah menjelma menjadi sebagian dari Pulau Sulawesi. Tepatnya Sulawesi terselatan, hingga sekitar Kota Masamba yang berbatasan dengan Sulawesi Tengah.
!break!
Jika dari Masamba perjalanan diteruskan ke arah timur hingga tiba di kompleks danau-danau di Malili termasuk Matano, kita telah berjalan di atas batuan dengan zona berbeda. Puluhan juta tahun silam, daratan ini muncul dari dalam laut akibat penujaman lempeng bumi di bagian selatan.
Lima belas juta tahun yang lalu, Pulau Buton di tenggara Sulawesi merupakan bagian dari kepala burung Papua, melarikan diri bersama kumpulan pulau yang kita kenal kini dengan nama Kepulauan Banggai, di lengan bawah Provinsi Sulawesi Tengah.
Manado terletak di daratan yang lahir akibat penujaman lempeng di bagian utara garis Khatulistiwa, dalam kisaran waktu sama dan pernah bersisian dengan Pulau Luzon, Filipina, sekitar 45 juta tahun silam. Hal-hal di atas belumlah cukup untuk memaparkan daftar panjang keunikan lanskap pulau ini.
Hingga kini, Sulawesi masih bersengkelit di bawah tekanan lempeng-lempeng raksasa: Eurasia, Indo-Australia, serta Lempeng Pasifik. Belum lagi sesar atau patahan yang menggores sekujur tubuhnya.
“Tabrakan sesar menghasilkan pegunungan tinggi, sampai 3.000 meter di atas permukaan laut,” ujar Haryadi. Akibatnya, pulau yang selalu resah ini memiliki bentang alam yang sangat ekstrem, dengan celah serta lembah yang amat dalam dan sempit.
Saya pun teringat pada suatu siang yang cerah pada Agustus 2002, saat meninggalkan Kota Makale, Tana Toraja. Kelokan-kelokan tajam mengantarkan saya melewati rangkaian Pegunungan Rantemario, tertinggi di Sulawesi Selatan yang puncaknya dikerubuti kabut. Selepas daerah Rapang saya bisa merasa lega, karena perjalanan tak lagi mengocok isi perut.
Menurut cerita-cerita Bugis masa lalu, di sekitar daerah ini dahulu pernah terdapat jalur air, yang membuat mereka mampu berlayar dari Selat Makassar menuju Teluk Bone. Jalur air itu kini hanya menyisakan Danau Tempe serta Danau Sidenreng.
Jika Jatna Supriatna—ahli konservasi dan dewan pakar majalah ini—mencurigai adanya rawa di daerah itu, Haryadi menduga hal lain. “Jika melihat karakteristik arus di Selat Makassar yang deras bahkan hingga sekarang, bisa jadi selat yang dulu ada ini juga dialiri air yang deras pula,” paparnya sambil meneliti peta geologi melalui proyektor di layar di kantornya.
!break!
Apa konsekuensi dari keadaan Sulawesi yang unik ini terhadap makhluk hidup yang ada di permukaanya? Pada 2003, Jatna Supriatna serta Ben J. Evans memublikasikan jurnal ilmiah mereka tentang garis batas pembeda makaka serta kodok di seantero Sulawesi, berdasarkan penelitian DNA mitokondria.
Hasilnya, enam garis berhasil mereka tarik sebagai pembatas antarspesies dua satwa tersebut. Jatna menyatakan, banyak publikasi yang menggambarkan makaka datang dari barat, saat daratan Kalimantan dan Sulawesi hanya terpisahkan oleh celah sempit—menurut Haryadi sekitar 20 ribu tahun silam.
“Hal yang amat menarik adalah, diferensiasi makaka di Sulawesi ini terjadi begitu cepat,” Jatna mengemukakan rasa penasarannya. “Makaka yang ada di Sumatra dan Jawa kan sama, Macaca fascicularis, bahkan sampai Bali, hanya ada perbedaan genetis. Sementara di sini, hanya beda beberapa kilometer saja kita sudah menemukan spesies yang berbeda,” lanjutnya sambil mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di atas peta Sulawesi.
Januari tahun lalu, saya mengunjungi lengan utara Sulawesi, tepatnya Bitung, sebuah daerah yang menghadap ke arah Laut Banda. Fakta berada di atas lapisan kompleks bebatuan yang masih muda ini semakin terasa saat dari kejauhan, kawanan Macaca nigra berambut hitam kadang bagai lenyap disarukan oleh pasir pantai yang tak kalah legamnya.
Amat berbeda dengan Macaca maura di selatan pulau, yang warnanya lebih muda dan hidup di atas batuan yang datang dari era yang lebih tua. Jatna berteori bahwa Sungai Dumoga adalah pembatas antarspesies Macaca nigra di bagian utara dan Macaca nigrescens, si tetangganya. Haryadi mendukung pendapat ini dari sisi kegunungapian.
“Gunung Soputan dan Lokon lumayan aktif. Jika sekarang saja hampir setiap tahun ada embusan asap, mungkin sepuluh ribu atau dua puluh ribu tahun yang lalu, lebih aktif lagi,” ungkapnya.
Di kantor geoteknologi lipi, saya dan Haryadi terus menelusuri garis-garis pembatas yang dipaparkan dalam penelitian Jatna dan Evans. Selain aliran air serta gunung api, Haryadi juga menemukan garis batas tepat di atas sesar, yang sama dengan pembentuk Matano.
“Satwa sangatlah sensitif. Gempa dua atau tiga skala Richter bisa mereka rasakan. Bisa jadi mereka menjauhi pusat geseran itu,” duganya.
!break!
Sulawesi dengan kerumitan serta keunikannya memang masih menyimpan berjuta misteri yang masih harus dipecahkan oleh para peneliti. Morfologi pulau ini menjadikan satwa di atasnya memiliki endemisitas tinggi dengan hitungan jarak yang dekat.
Bahkan, menurut Jatna, keberagaman spesies tarsius dibatasi hanya oleh ketinggian yang berbeda. “Sulawesi adalah salah satu dari tiga tempat yang amat menarik bagi penelitian biologi di dunia, selain Madagaskar dan Galapagos,” ungkapnya.
Menurutnya, diperlukan penelitian yang terus berkesinambungan selama puluhan tahun untuk memahami pulau nan unik ini. Tak heran jika beberapa peneliti luar negeri bersikukuh mendirikan stasiun riset selama berdekade-dekade di tanah Sulawesi. Suatu hal yang hingga kini masih sebatas cita-cita bagi peneliti di dalam negeri sendiri karena terbatasnya aliran dana penelitian.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR