Bangsa Arab menyempurnakan pengolahan gula dan mengubahnya menjadi sebuah industri. Pekerjaan itu sangat sulit. Pada 1500 M, dengan terus meningkatnya permintaan akan gula, pekerjaan itu dianggap hanya cocok untuk buruh kasar. Orang yang bekerja di pabrik itu umumnya tawanan perang, orang Eropa Timur yang ditangkap saat pasukan Muslim dan Kristen bertempur.
Mungkin orang Eropa pertama yang jatuh cinta pada gula adalah tentara perang salib Inggris dan Prancis yang pergi ke timur untuk merebut Tanah Suci dari musuhnya. Tebu tidak begitu produktif jika ditanam di iklim sedang—karena memerlukan ladang beriklim tropis dengan curah hujan tinggi untuk tumbuh subur.
Akibatnya, pasar Eropa pertama dibangun melalui perdagangan kecil-kecilan dengan kaum Muslim, dan gula yang mencapai dunia Barat hanya dikonsumsi oleh kaum bangsawan. Namun, dengan menyebarnya Kekaisaran Utsmaniyah pada 1400-an, perdagangan dengan dunia Timur menjadi lebih sulit.
!break!
Bagi bangsawan elite Barat, terdapat beberapa pilihan: berhubungan dengan produsen kecil gula di selatan Eropa, mengalahkan bangsa Turki, atau menciptakan sumber produksi gula yang baru. Anak sekolah mengenal masa itu sebagai zaman penjelajahan, pencarian wilayah dan kepulauan yang mengirimkan penjelajah Eropa ke seluruh dunia.
Pada kenyataannya, tujuan utama penjelajahan ini adalah perburuan lahan agar tebu dapat tumbuh dengan subur. Pada 1425, pangeran Portugis yang dikenal sebagai Henry Sang Penjelajah mengirim tebu ke Madeira bersama sekelompok kolonis pelopor. Dalam waktu singkat, tanaman itu pun mencapai kepulauan Atlantik yang baru ditemukan—Kepulauan Tanjung Verde, Kepulauan Canary.
Pada 1493, ketika Columbus berangkat dalam pelayarannya yang kedua ke Dunia Baru, dia juga membawa tebu. Dengan demikian, lahirlah zaman gula besar, di Kepulauan Karibia. Dan, seiring berjalannya waktu, perkebunan budak menjadi pabrik pengolahan besar berasap tebal di pinggiran kota-kota modern, untuk dikonsumsi massal oleh anak-anak gendut, dan orang tua tambun.
DIPERBUDAK GULA
Columbus menanam tebu pertama Dunia Baru di Hispaniola. Bukan kebetulan jika lokasi ini menjadi tempat pemberontakan budak terbesar beberapa ratus tahun kemudian. Dalam beberapa dasawarsa, penggilingan tebu menghiasi dataran tinggi di Jamaika dan Kuba; di situ hutan hujan diratakan, dan jumlah penduduk pribumi menyusut akibat penyakit atau perang atau karena diperbudak.
Bangsa Portugis menciptakan model yang paling efektif, membuat Brasil menjadi koloni yang meledak pesat, dengan lebih dari 100.000 budak menghasilkan berton-ton gula. Karena semakin banyak tebu yang ditanam, harga produk itu pun jatuh. Saat harga jatuh, permintaan meningkat. Para ekonom menyebutnya sebagai siklus yang saling menguntungkan.
Pada pertengahan abad ke-17, gula mulai berubah dari bumbu mewah, menjadi bahan pokok, pertama-tama untuk kelas menengah, kemudian bagi warga miskin. Pada abad ke-18, kombinasi antara gula dan perbudakan mencapai puncaknya.
Setiap beberapa tahun, sebuah pulau baru—Puertoriko, Trinidad—dikolonisasi, diratakan, dan diubah menjadi perkebunan. Jika ada penduduk pribumi meninggal, juragan perkebunan menggantinya dengan budak Afrika. Setelah dipanen dan digiling, tanaman itu ditumpuk dalam palka kapal dan dibawa ke London, Amsterdam, dan Paris. Di situ, tebu dipertukarkan dengan barang jadi, yang dibawa ke pantai barat Afrika dan ditukar dengan lebih banyak budak.
!break!
Sisi berdarah dari “perdagangan segitiga” ini, saat jutaan orang Afrika tewas, dikenal sebagai Middle Passage. Sebelum perdagangan budak dilarang di Inggris pada 1807, lebih dari 11 juta orang Afrika dikirim ke Dunia Baru—lebih dari setengahnya dipekerjakan di perkebunan tebu.
Menurut politikus Trinidad dan sejarawan Eric Williams, “Perbudakan bukan dilahirkan oleh rasisme; namun, rasisme adalah akibat perbudakan.” Dengan kata lain, orang Afrika tidak diperbudak karena mereka dianggap lebih rendah, tapi mereka dianggap lebih rendah untuk membenarkan perbudakan, yang diperlukan untuk kemakmuran perdagangan gula pada masa silam.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR