Saat menyetir kembali mobilnya menuju jalan raya, Jo mengatakan lelaki tadi bercerita tentang legenda lokal yang telah kami ketahui. Jo merasa tak sopan jika tak mendengarkan sampai selesai.
“Oh ya, Si Wichai adalah sebutan orang sini untuk Sriwijaya,” jelasnya. Ya, saya tahu. Juga tentang keyakinan masyarakat setempat bahwa nama Chaiya diadopsi dari Si Wichai. Juga bahwa terdapat bukit di daerah ini yang bernama Kao Si Wichai (Bukit Sriwijaya).
Wat Wiang adalah satu dari tiga kuil di Chaiya yang diperkirakan para ahli sebagai “trisamaya caitya” dalam prasasti. “Dua lainnya tak jauh dari sini. Bapak yang tadi memberitahu,” ucap Jo seraya menikung ke jalan yang lebih sempit.
Beberapa ratus meter saja dari Wat Wiang, kami tiba di Wat Kaeo. Reruntuhan candi dari batu bata merah ini masih tampak megah. Pada tiga sisi candi terdapat ceruk persegi untuk meletakkan arca Buddha dalam posisi bersila. Pada sisi lain yang merupakan bagian depan candi, terdapat pintu masuk.
Ruangan di dalamnya cukup lapang. Udaranya lembap. Di sana diletakkan arca-arca Buddha pula. Sebagian besar dari masa setelah Sriwijaya, petunjuk bahwa candi ini terus digunakan.
Wat Kaeo ini, lalu Wat Long yang juga kami kunjungi, ditambah Wat Wiang yang tidak bersisa lagi itu, dibangun berdekatan. “Ketiganya terletak dalam suatu garis imajiner yang lurus dari utara ke selatan. Jarak antara satu wat dengan wat lainnya sama,” tulis Mom Chao Chand Chirayu Rajani, sejarawan Thailand, dalam satu dari lima makalah bersambungnya tentang Sriwijaya di Journal of the Siam Society pada 1974-1976.
Ditilik dari bahan batu bata merah dan gaya pembuatannya, Wat Kaeo dan Wat Long mengingatkan kepada percandian Batujaya di Karawang, Muarajambi di Jambi, dan Muaratakus di Riau. Terutama Wat Long yang sekilas mirip Candi Blandongan di Batujaya.
Reruntuhan bangunan dari masa Sriwijaya di Thailand bagian selatan bukan hanya Wat Kaeo dan Wat Long. Bahkan di Chaiya pula, terdapat satu-satunya cedi (stupa) dari masa Sriwijaya yang masih utuh: Wat Phra Borommathat Chaiya.
Di Nakhon Si Thammarat, kami sebelumnya juga mengunjungi reruntuhan stupa beberapa puluh meter persegi yang sekarang “dikepung” sekolah, wihara, dan kuil Buddhis. Masyarakat setempat menyebutnya Wat Thao Khot.
!break!
Orang-orang dari selatan
Pada suatu titik, lebar Tanah Genting Kra di Thailand hanya 40-an kilometer. Ahli-ahli sejarah Thailand menyebutkan, terdapat rute darat dari pesisir barat wilayah itu ke pesisir timurnya. Rute itu kerap digunakan para pedagang masa klasik.
Dengan menyeberangi daratan ini, para pedagang dari barat atau timur tak perlu berlayar mengitari Semenanjung Malaka yang memakan waktu sekitar sebulan pada zaman itu. Prasasti Wat Sema Mueang mengindikasikan pentingnya wilayah itu. Apalagi, daerah tersebut juga menjadi batas dengan Kerajaan Dwarawati di utara.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR