Dari maharaja yang juga keturunan maharaja, yang beristrikan cucu dari maharaja, yang memiliki kandang berisi seribu ekor gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi tanaman gaharu, rempah-rempah, pala, dan kamper yang semerbaknya tercium dari jarak 12 mil.
Kepada Raja Arab yang tidak mengenal Tuhan lain selain Allah. Aku mengirimkan hadiah yang tak seberapa, sekadar perlambang persahabatan. Aku berharap engkau mengirimkan seseorang yang dapat mengajarkan Islam dan menjelaskan hukum-hukumnya kepadaku.”
Demikian transliterasi dari surat seorang “maharaja” kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Kekhalifahan Umayyah, Damaskus. SQ Fatimi, seorang cendekiawan Islam, yang mengungkapkan perihal surat ini. Naskah Fatimi diterbitkan oleh Islamic Research Institute, International Islamic University di Islamabad, 1963.
Menurut Fatimi yang menelusuri banyak manuskrip Arab, isi surat itu dikutip oleh Ibnu Abdul Rabbih (860-940). Dalam hitungan Fatimi, surat itu diterima oleh khalifah pada 718. “Dua sungai” dalam surat diperkirakannya Musi dan Batanghari. Sedangkan maharaja pengirim surat adalah Raja Sriwijaya, Sri Indrawarman.
Dalam kronik Cina, Sri Indrawarman dicirikan sebagai Shih-li-t’o-pa-mo. Ia tiga kali mengirim utusan: 702, 716, dan 724. Pada 724, di antara hadiah darinya terdapat seorang budak perempuan berkulit hitam. Tampaknya Sri Indrawarman menerima budak semacam itu dari Bangsa Arab.
Surat ini sangat mencengangkan. Bayangkan, raja Sriwijaya meminta agar dikirimi seorang mubalig pada abad-abad awal penyebaran Islam. Terbit pertanyaan, apakah Khalifah Umar bin Abdul Aziz (berkuasa 717-720) mengabulkan permintaan Sri Indrawarman? Apakah Indrawarman memeluk agama Islam? Tidak ada petunjuk.
Bagamanapun, selain surat di atas, masih ada satu surat lagi. Fatimi memperkirakan tarikhnya lebih tua. Surat itu hanya dikutip bagian perkenalannya, yang sangat mirip. Proses penceritaan tentang keberadaannya juga rumit.
Menurut SQ Fatimi, surat itu ditujukan kepada Khalifah Mu’awiyah I, penguasa pertama di Kekhalifahan Umayyah. Surat itu dikutip Amir Al Bahr (783-869) dalam Kitab al-Hayawan. Ia mendengarnya dari orang lain secara berantai, mulai dari Abdul Malik bin Umar yang membacanya dengan mata sendiri di sekretariat Mu’awiyah setelah sang khalifah meninggal.
Penanggalannya lebih mengejutkan. Khalifah Mu’awiyah I berkuasa sejak 661 sampai 680 ketika ia wafat. Berarti, surat dari maharaja kepada sang khalifah dapat kita letakkan pada kurun waktu tersebut. Di era sama, Sriwijaya diperintah oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendahulu Indrawarman. Prasasti Kedukanbukit mengisahkan, Dapunta Hyang mendirikan permukiman pada 682 (baca edisi Oktober 2013).
“Ya, terdapat kemungkinan itu,” kata ahli arkeologi Bambang Budi Utomo dari Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta. “Sriwijaya toleran kepada agama lain meski rajanya pemeluk Buddha.”
Suatu arca Bodhisattwa di Museum Nasional memberi petunjuk. Di punggung arca Buddhis itu terdapat tulisan tentang pembuatnya, yakni seseorang pemeluk Hindu. Dekat Palembang dan Sungai Lematang pun terdapat peninggalan Hindu masa Sriwijaya. Menjelang akhir Sriwijaya, banyak pula bermukim pedagang Muslim Persia.
“Begitulah. Saya tak pernah menemukan petunjuk bahwa agama pernah menyebabkan kericuhan dalam sejarah Sriwijaya,” tegas Bambang. “Bahkan pada abad ketujuh, di Barus, pelabuhan penting Sriwijaya, sudah tercatat kehadiran agama Kristen Nestorian,” lanjutnya.
Toleransi Sriwijaya terhadap keanekaragaman disebabkan seringnya negeri ini bersinggungan dengan budaya asing. Suatu hal yang dipicu oleh letaknya di rute perdagangan penting masa itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR