Chau Ju-kua (Zhao Rugua), komisaris Cina dalam perdagangan internasional, mengamini politik niaga Sriwijaya. Dua volume naskah berjudul Chu-fan-chi (Zhu Fan Zhi, catatan tentang bangsa asing) karya Chau menceritakan banyak hal walau ditulis pada abad ke-12 dan ke-13 ketika Sriwijaya telah meredup.
Di Selat Malaka, kapal-kapal dagang kerap menghindari pungutan pajak dengan cara berlayar selaju-lajunya. Namun, seperti ditulis oleh Chau, upaya itu kemungkinan besar gagal. “Jika kapal dagang tidak singgah, mereka mengejar untuk menyerang dan semuanya berani mati,” tulis Chau. “Inilah alasan mengapa negeri ini merupakan pusat perdagangan yang besar.”
Pada baris-baris lain dalam Chufanchi, Chau menulis, “Sanfotsi terletak di antara Kamboja dan Jawa. Kekuasaannya terbentang di 15 negeri bawahan. Dinding kotanya terbuat dari batu bata. Penduduknya tersebar di luar kota atau di atas air dengan rumah rakit berlapis alang-alang. Mereka cekatan berkelahi di darat atau di air. Kalau akan berperang, mereka berkumpul dan mengirimkan pasukan sesuai kebutuhan. Mereka menunjuk pemimpin-pemimpin. Soal menghadapi musuh dan maut, mereka tidak ada duanya. Negeri ini terletak di lautan dan mengontrol selat dan daratan yang harus dilalui bangsa-bangsa asing.”
!break!
Dharmakirti dan Atisha
Kebijakan Sriwijaya dalam perdagangan boleh jadi keras. Namun, dalam keagamaan, negeri ini terus tercatat dengan tinta emas.
Pada abad ketujuh, Sriwijaya disebut oleh biksu pengembara dari Cina, I-Tsing, sebagai pusat agama Buddha di lautan selatan. “Di kota Sriwijaya yang dikelilingi tembok terdapat lebih dari seribu biksu yang menekuni pengkajian naskah agama dan amal baik,” catatnya. Kala itu, terdapat guru agama Buddha di Sriwijaya yang dihormati I-Tsing yakni Sakyakirti.
Pada awal abad ke-11, seorang guru besar bernama Dharmakirti di Sriwijaya juga harum semerbak namanya hingga ke seberang lautan. Hal itulah yang mendorong biksu Atisha Dipamkarasrijnana untuk berlayar dari India menuju Swarnadwipa.
Literatur kuno Tibet menyebutkan, sebelum mereformasi agama Buddha di negeri itu, Atisha pernah memiliki 157 orang guru. Namun, hanya Dharmakirti—gurunya selama 12 tahun—yang selalu membuatnya diliputi keharuan mendalam kala mengenang. Dari Swarnadwipa, Atisha membawa pulang suatu naskah karya Dharmakirti. Ia kemudian menerjemahkannya ke dalam Bahasa Tibet bersama-sama dengan biksu Rin Chen Bzang Po.
Peter Skilling, seorang fellow pada Lumbini International Research Institute (Nepal) sekaligus pengajar khusus pada Chulalongkorn University di Bangkok, mencatat suatu hal menarik. Dalam suatu karya ilmiahnya pada 1997, Peter mengungkapkan bahwa naskah itu berjudul Durbodhaloka—berarti “pencerahan atas pokok-pokok yang sukar“. Naskah itu aslinya ditulis oleh Dharmakirti menggunakan Bahasa Sanskerta.
“Aloka ini dirangkai oleh Dharmakirti atas permintaan raja termasyhur, Cudamaniwarman, di kediamannya yang menggembirakan, Sriwijaya. Selesailah Durbodhaloka yang disusun di kota Sriwijaya di Swarnadwipa pada tahun kesepuluh pemerintahan Sri Dewa Cudamaniwarman. Diterjemahkan, direvisi, dan diselesaikan oleh guru Dipamkarasrijnana dan penerjemah yang hebat biksu Rin Chen Bzang Po,” demikian isi dari bagian colophon (keterangan penerbit) manuskrip tersebut.
“Walaupun Sriwijaya dipandang sebagai pusat pembelajaran Buddhisme, hanya satu dari sekian banyak literaturnya yang seharusnya banyak itu yang selamat,” tulis Peter. “Itulah Durbodhaloka.”
!break!
Kanal-kanal di percandian
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR