Jika Miami memiliki masa depan sebagai salah satu kota air dunia, penampilannya mungkin akan lebih mirip rantai pulau Florida Keys daripada Stockholm. Saya menyusuri jalan Jalan Raya Atas Laut ke Key West, melewati rumah-rumah panggung, toko peralatan kelautan, dan pepohonan pinus yang sekarat akibat keracunan air laut. Lapangan golf di Florida Keys kini ditanami rumput toleran garam.
Kepulauan ini adalah sisa terumbu karang kuno yang tersingkap. Sebagian besar tidak sampai 1,5 meter di atas permukaan laut. Terumbu dapat melindungi wilayah pesisir dari lonjakan badai. Kalau sehat, terumbu dapat mengimbangi kenaikan air laut, tumbuh semakin tinggi dengan naiknya laut. Namun, sebagian besar terumbu di lepas pantai Florida mati pada akhir 1970-an akibat penyakit.
“Kalau sekarang kita menyelam di terumbu, hanya ada karang mati,” kata Chris Langdon, ahli oseanografi University of Miami. Laut yang lebih hangat dan asam mencegah pulihnya terumbu. Langdon berupaya mengidentifikasi karang yang dapat menoleransi kondisi ini.
“Salah satu cara melihat nilai ekonomis karang adalah membayangkan jika pekerjaan ini diserahkan kepada tentara dan mereka harus membangun tembok laut sepanjang 150 mil [241 km], dan harus meninggikannya sedikit setiap tahun,” katanya. “Terumbu melakukan itu secara gratis.”
Jalan raya ini, yang juga dinamai U.S. 1, menghubungkan rantai pulau tersebut dengan 42 jembatan. Penduduk di Florida Keys terbatas pada jumlah orang yang dapat dievakuasi dengan kendaraan dalam waktu 24 jam, mendahului badai yang mendekat.
Chris Bergh dari Nature Conservancy menemui saya di Big Pine Key. Dia datang ke Florida Keys dari Pennsylvania semasa kecil, duduk di kursi belakang bus Volkswagen 1973 milik orang tuanya, dan tidak berniat pindah dari sini. “Aku punya anak enam tahun,” katanya. “Saya kira saya akan menghabiskan hidup di sini, tetapi dia tidak akan bisa. Suatu saat kelak seorang ekonom akan berkata, ‘Begini, merombak U.S. 1 akan memakan biaya 12 triliun rupiah dan itu hanya akan mengulur waktu 20 tahun lagi.’ Pertanyaannya adalah, Berapa biayanya untuk mengulur waktu agar kita dapat terus tinggal di sini?”
Ujung rantai pulau ini adalah Key West, yang lebih dekat ke Havana daripada ke Miami. Di Balai Kota kami bertemu dengan Don Craig, perencana yang sudah lebih dari dua dasawarsa bekerja di pemerintah kota. Kota ini telah membelanjakan miliaran rupiah pada tahun-tahun terakhir untuk menambah pompa, membangun kantor pemadam kebakaran di tanah lebih tinggi, dan membangun kembali bagian tembok laut yang hampir mengelilingi pulau itu. Tetapi, pilihannya terbatas.
Menaikkan ketinggian pada skala besar tidak mungkin dilakukan. “Tidak ada sumber bahan isi di dekat sini,” katanya. “Kami terletak 118 mil [190 km] dari tambang batu besar.”
Saat Craig memberi tahu orang bahwa jalur hidup Florida Keys, jalan raya itu, kelak akan tenggelam, ini menimbulkan empat reaksi. “Ada yang takut,” katanya. “Ada yang berkata, Saya sudah mati saat itu terjadi, jadi saya tak peduli. Ada yang berkata, Masih ada perdebatan apakah ini akan terjadi atau tidak, jadi buat apa Anda mengatakan ini kepada kami? Reaksi terakhir adalah diam seribu bahasa.”
Jawaban Craig sendiri: pindah.
!break!Rasanya ganjil melihat kecepatan pembangunan di wilayah yang mungkin akan tenggelam sebelum 2100. Pada penerbangan pagi-pagi yang melintasi Broward County barat laut, saya melihat kapal keruk mengeruk bahan isi untuk membentuk tanjung seperti jemari di danau buatan di lahan perumahan yang sedang dibangun di wilayah Everglades.
Dalam perjalanan perahu menghulu di Sungai Miami di pusat kota Miami, saya melewati kaveling tanah 0,5 hektare tepat di tepi sungai yang terjual seharga 1,5 triliun rupiah musim semi lalu—harga rekor di sini.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR