“Mari kita mencari petualangan gaya lama,” kata Hilaree, “ekspedisi ke tempat yang masih terpencil dan tak dikenal.” Itu pada musim semi 2012, dan kami sedang menuruni Gunung Everest. Hilaree adalah perempuan paling tangguh yang saya kenal. Setelah mencapai puncak Everest, dia mendaki tetangganya, Lhotse, padahal dua ligamen di pergelangan kakinya cedera.
Kami memiliki banyak kesamaan. Kami berdua dibesarkan dengan mencintai gunung. Kami berdua sudah menikah dan punya dua anak, serta berusaha menyeimbangkan kehidupan keluarga dan ekspedisi. Dan kami berdua kecewa dengan komersialisme dan keramaian Everest. Kami perlu kembali ke hal yang semula mendorong kami menjadi pendaki.
Tetapi, menemukan tempat yang benar-benar terpencil itu sulit. Pesawat bisa mengantar kita ke Kutub Utara atau Selatan, kita bisa naik helikopter ke kemah induk Everest atau Makalu, perahu wisata menyusuri Sungai Nil dan Sungai Amazon. Keterpencilan sejati—tempat yang baru bisa dicapai setelah berjalan kaki berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu—sudah hampir lenyap dari bumi.
Namun, saya tahu satu tempat, satu gunung yang sudah lama menyihir saya. Tetapi, karena memiliki sejarah pribadi dengannya, saya enggan menyebutkannya. Akhirnya, setelah saling melempar ide—Pakistan, Papua Nugini, Kazakstan—antusiasme saya pun menang. “Bagaimana kalau,” saya ragu sebentar, “Hkakabo Razi?”
!break!Hkakabo Razi (dilafalkan Ka-ka-bo Ra-zi) konon puncak tertinggi di Asia Tenggara. Gunung itu besar bergerigi, dari batu hitam dan gletser putih, menjulang tak terduga di tengah rimba hijau lembap di Myanmar utara. Terletak persis di luar tepi timur Pegunungan Himalaya, di perbatasan dengan Tibet, gunung ini pertama kali diukur oleh survei Inggris yang diterbitkan pada 1925 dengan ketinggian 5.881 meter. Puncak ini begitu terpencil, sehingga hanya sedikit pendaki yang pernah mendengarnya, bahkan pada zaman sekarang. Untuk mencapai gunung itu diperlukan perjalanan dua minggu menembus rimba lebat yang terbelah oleh jurang-jurang dalam. Hilaree langsung terpikat. Kami sudah mulai merencanakan ekspedisi sebelum meninggalkan Kathmandu.
Saya pertama tahu soal Hkakabo pada 1980-an, ketika membeli buku Burma’s Icy Mountains yang sudah menguning, karya penjelajah Inggris, Francis Kingdon-Ward. Buku itu menuturkan ekspedisinya pada 1937 ke wilayah itu, serta upaya beraninya untuk mendaki Hkakabo Razi sendirian. Dia mencapai lebih dari 4.500 meter sebelum terhalang oleh “tembok granit [tak terdaki] … di luar kuasa saya.”
“Kuasa” Kingdon-Ward, yang saya ketahui dari membaca banyak bukunya yang lain, sangat beragam. Dia merupakan ahli botani cemerlang, penulis liris, pemburu tumbuhan tak kenal lelah, dan konon mata-mata Inggris. Kingdon-Ward termasuk petualang sekeras besi yang setipe dengan penjelajah kutub Roald Amundsen, atau penjelajah Amazon Percy Fawcett. Kingdon-Ward dapat mengarungi rimba berbulan-bulan hanya dengan makan nasi dan minum teh. Dari 1909 hingga 1956, dia melakukan lebih dari 20 ekspedisi ke Asia Tengah, pernah selamat saat jatuh dari tebing dan saat terjadi gempa bumi terburuk abad itu. Dia mengoleksi ratusan tumbuhan dan menamai banyak di antaranya, termasuk spesies rhododendron dan bakung.
!break!Saya terpesona oleh perjalanan Kingdon-Ward dan bertekad menjadi pendaki pertama Hkakabo Razi. Jadi, pada musim gugur 1993, saya mengajak sobat pendakian saya, Steve Babits, Mike Moe, dan Keith Spencer. Kami menamai kelompok kami Wyoming Alpine Club. Sejak itu, saya dan Mike menjadi pendaki pertama di beberapa tempat di Pegunungan Rockies dan orang pertama yang berkayak menuruni Sungai Niger di Afrika Barat.
Saat itu junta militer yang menguasai Burma—yang namanya kemudian diganti menjadi Myanmar—menyatakan daerah utara terlarang bagi orang asing. Dengan naif kami berencana mengelakkan rintangan ini dengan cara mendatangi gunung itu dari Tibet, menyeberangi perbatasan secara ilegal, berjalan tanpa porter.
Kami terbang ke Lhasa, dan menyelinap masuk ke Tibet timur—yang tertutup bagi orang asing. Perlu sebulan lebih untuk mendekati kaki gunung. Namun, kami kehabisan makanan di sisi utara Hkakabo dan terpaksa turun ke sebuah desa Tibet. Di sana kami ditangkap oleh militer Tiongkok, diinterogasi, dan dipenjarakan. Kami pun dideportasi.
Dua tahun kemudian, yang membuat saya masygul, pemerintah Myanmar mengizinkan pendaki Jepang, Takashi Ozaki, mendaki Hkakabo Razi. Ozaki adalah veteran Himalaya yang tak terhentikan, melakukan pendakian tuntas pertama di sisi utara Everest pada 1980. (Kemudian dia meninggal saat mendaki di sana pada 2011.) Dia gagal dua kali mendaki Hkakabo pada 1995, tetapi pada September 1996, setelah dua bulan mendaki, Ozaki mencapai puncak bersama pendaki kelahiran Tibet, Nyima Gyaltsen. Dia bercerita kepada surat kabar Asia Times, “Saya bisa berkata dengan tandas bahwa Hkakabo Razi adalah salah satu gunung tersulit dan paling berbahaya di dunia. Saya belum pernah takut seperti kali ini.”
!break!Ozaki menerbitkan cerita terperinci tentang ekspedisi ini, tetapi tidak mengukur ketinggian puncak dengan GPS, sehingga ketinggian tepat gunung itu masih belum diketahui.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR