Karena yakin akan ketangguhan kami, saya, Mike, dan Keith membahas soal kembali ke Hkakabo. (Steve sudah beralih ke petualangan jenis lain.) Namun, takdir berkata lain. Mike tewas dalam ekspedisi pada 1995, bersama timnya. Paus menggulingkan perahu mereka di Samudra Arktika, dan mereka tewas. Mike meninggalkan istri dan tiga anak.
Namun, saya dan Keith terus melakukan ekspedisi dan sering mendaki es bersama. Pada 2 Januari 2009 kami sedang pada tahap kelima pendakian es terjun di Wyoming utara. Saya sedang menjaga tali untuknya dari relung kecil dalam es. Dia sedang mendaki dengan ceria lima meter di bawah saya ketika kami mendengar deru memekakkan. Satu bagian es di atas kami terlepas. Beberapa detik kemudian berton-ton es jatuh. Keith tewas, lehernya patah.
Dia tidak melakukan kesalahan, dan saya tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan diri. Tidak ada hikmah, selain kebenaran tak terhindarkan bahwa gunung itu berbahaya, dan sesekali mendatangkan ngeri dan duka pada mereka yang berani mendakinya.
!break!Kami bersantai di sembir makan siang di bawah matahari Hkakabo Razi, menyeruput mi panas bersama Cory dan Renan. Saya pun teringat pada teman-teman yang telah tiada. Mike kocak seperti Cory, yang menyemangati kami dalam saat-saat terburuk perjalanan ini dengan lelucon. Keith pendiam seperti Renan, selalu menikmati kemegahan di sekelilingnya, selalu bersuara tenang di tengah krisis. Selama beberapa minggu terakhir yang saya lewatkan bersama Cory dan Renan, rasanya agak seperti menengok ke masa lalu, pada diri sendiri dan teman-teman yang telah tiada.
Setelah tekad kami pulih, kami mulai mempelajari gigir berkelok di depan kami yang menuju puncak. Karena gunung itu umumnya belum terjelajahi, kami mendaki dengan pengetahuan minim tentang medannya.
Gigir barat Hkakabo bagaikan mata gergaji sepanjang tiga kilometer—sederet menara batu yang dipisahkan oleh lembah tajam bersalju. Kami melihat ada ceruk yang tampaknya lokasi terbaik untuk berkemah malam nanti. Kami berkemas dan mulai bergerak, berusaha tetap berada di sisi gigir yang disinari matahari.
Perlu empat jam untuk sampai ke ceruk itu. Kami begitu lelah, hampir tak mampu lagi memadatkan tanah dengan kaki untuk alas tenda. Wajah kami dilapisi es akibat bernapas berat.
Kami tahu malam ini akan menyengsarakan. Di kemah 3 kami bisa melihat bahwa gigir ini berbahaya dan memerlukan keterampilan teknis. Jadi, kami mengurangi berat ransel tanpa ampun, berharap itu cukup sebagai bekal naik ke puncak dan turun lagi. Kami meninggalkan kantong tidur musim dingin dan hanya membawa bungkus kantong yang tipis. Kami punya satu kompor, satu botol bahan bakar, satu panci, satu sendok, dua santapan pasta instan, dan kami bertiga berjejal di dalam tenda untuk dua orang.
!break!
Sampai ke kaki Hkakabo Razi saja perlu waktu sebulan. Hal yang didambakan oleh saya dan Hilaree di lereng Everest—keterpencilan—justru menjadi hal yang mengancam ekspedisi kami sejak awal.
Pertama-tama kami harus melintasi hampir seluruh wilayah Myanmar. Dari Yangon kami menumpang bus malam ke Bagan, lalu naik feri ke arah hulu Sungai Irawadi ke Mandalay, lalu naik kereta api yang berguncang dan berayun seolah dapat anjlok sewaktu-waktu. Di Myitkyina kami naik pesawat dengan penumpang yang membawa AK-47 sebagai bagasi kabin. Saat tiba di Putao, kota paling utara di negara bagian Kachin, kami “ditahan” selama lima hari sementara izin pendakian kami dipingpong di antara pejabat. Akhirnya kami memuat perlengkapan ke konvoi motor dan memulai perjalanan tiga hari. Kami mengarungi kali dan mengaduk lumpur sampai akhirnya jalur itu hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.
Lalu, dimulailah perjalanan 243 kilometer ke kaki Hkakabo melalui rimba yang basah dan gelap. Tajuk hutan yang lebat membentuk pendar hijau temaram. Selama dua minggu kami menyusuri jalur yang mirip terowongan ini, selalu menanjak curam atau tiba-tiba menukik, dari desa terpencil ke desa terpencil, persis seperti yang dialami Francis Kingdon-Ward 77 tahun sebelumnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR