Nationalgeographic.co.id—Mumi pendeta Mesir kuno yang berusia lebih dari 3.000 tahun baru-baru ini dipindahkan dari Museum of Civil Archeology yang terkenal di Bergamo, Intalia, ke rumah sakit Policlinico of Milan untuk menjalani CT scan. Para peneliti dari Mummy Project, proyek penelitian mumi bergengsi di Milan, yang melakukan CT scan tersebut berharap bisa mempelajari lebih banyak tentang kehidupan, kesehatan, dan mumifikasi pendeta kuno itu, menurut laporan berita Reuters.
Upaya CT scan tersebut merupakan pagian dari penelitian berkelanjutan yang dilakukan oleh Mummy Project, proyek jangka panjang bergengsi di Italia. CT scan dan proyek terkait mumi lainnya sedang dilakukan oleh tim ahli yang bekerja di Milan tersebut.
Tujuan utama mereka adalah untuk "memfasilitasi studi tentang sisa-sisa organik kuno dan terutama mumi manusia dan tumbuhan" dengan menggunakan teknik canggih penyelidikan medis dan forensik. "Mumi-mumi itu bisa dibilang museum biologi, mereka seperti kapsul waktu," kata arkeolog Sabina Malgora, yang merupakan direktur Mummy Project, seperti dilansir Ancient Origins.
Pernyataan resmi dari pihak Mummy Project menekankan bahwa penelitian tentang mumi kuno ini sama sekali tidak mengganggu, melukai, atau mengubah tubuh mumi yang sedang diperiksa dengan cara apa pun. Selama dekade sebelumnya, penelitian dan metodologi penting mereka telah membantu membangun jaringan sumber daya yang luas dan kaya, yang disajikan dalam bentuk acara dan pameran budaya di museum, yayasan, dan perpustakaan di seluruh Eropa.
Adapun nama pendeta Mesir kuno yang sedang mereka teliti itu adalah Ankh Khonsu atau Ankhekhonsu. Jika diterjemahkan, arti dari nama pendeta Mesir kuno ini adalah “dewa Khonsu yang hidup,” sebagaimana tertulis pada sarkofagus di lima tempat berbeda.
Tim peneliti yakin bahwa penelitian teknologi tinggi mereka ini akan membantu mereka untuk lebih memahami bahan dan proses keseluruhan yang digunakan untuk membuat mumi tersebut. Proses mumifikasi Mesir masih merupakan pertanyaan kuno yang “terbuka”—belum terjawab sepenuhnya—yang telah menimbulkan banyak perdebatan, diskusi, dan penelitian di bidang sejarah dan arkeologi.
Baca Juga: Ilmuwan Menciptakan Kembali Suara Nesyamun, Mumi Pendeta Mesir Kuno
Analisis-analisis mumi modern, termasuk untuk tulang, gigi, rambut dan jaringan lunak yang terawetkan, telah memberikan banyak informasi tentang kesehatan jenazah-jenazah tersebut, dan informasi penting lainnya seperti makanan yang mereka makan.
Selain itu, riwayat medis yang sangat rinci untuk penyakit dan cedera dapat dipastikan melalui upaya pemindaian berteknologi tinggi ini. Malgora menyatakan, “Mempelajari penyakit dan cedera kuno adalah penting untuk penelitian medis modern. Kita bisa mempelajari kanker dan aterosklerosis di masa lalu dan itu bisa berguna untuk penelitian modern.”
Ini bukan pertama kalinya teknologi modern bertemu dengan dunia kuno. Pada tahun 2008, CT scan dilakukan pada mumi lainnya yang berjenis kelamin perempuan. Hasil CT scan ini mengungkapkan alat pembersih otak yang digunakan oleh para pembalsem Mesir kuno, yang bersarang di tengkoraknya sejak sekitar 2.400 tahun yang lalu, seperti dilaporkan oleh Yahoo News.
Mumi, bersama dengan piramida, adalah referensi modern paling populer untuk peradaban Mesir kuno yang agung. Kebudayaan ini tumbuh subur di sepanjang Sungai Nil selama ribuan tahun dan sisa-sia peradaban itu masih utuh dan berdiri kokoh sampai sekarang. Kata mumi berasal dari kata Persia atau Arab, yakni mumia atau mumiya yang berarti "ter" atau "aspal". Awalnya mengacu pada zat hitam seperti aspal yang dianggap memiliki khasiat obat. Zat ini sangat dicari sebagai obat untuk banyak penyakit. Karena mumi Mesir adalah memiliki penampilan hitam, kata tersebut menjadi terkait dengan mereka.
Baca Juga: Pertama Kalinya di Dunia, Mumi Mesir Ditemukan dalam Kondisi Hamil
Ilmu mumifikasi sangat luar biasa pada masanya karena dehidrasi jaringan digunakan untuk mencegah pembusukan. Di Mesir kuno, mumifikasi menjadi bagian integral dari ritual kematian sejak tahun 2800 Sebelum Masehi. Kala itu, pengawetan tubuh tokoh-tokoh elite dipandang penting untuk kehidupan yang baik di akhirat.
Untuk alasan ini pula, organ-organ dalam dikeluarkan terlebih dahulu dari tubuh jenazah yang hendak dijadikan mumi tersebut. Dan kemudian tubuh itu disiram dengan anggur dan rempah-rempah. Menariknya, jantung dibiarkan tetap di dalam tubuh mendiang karena dianggap vital di akhirat. Orang-orang Mesir menyakini bahwa tempat perasaan dan pikiran manusia adalah jantungnya.
Setelah tubuh tersebut dikeringkan, jenazah itu kemudian dibungkus dengan beberapa lapis linen dan kadang-kadang ditambahkan jimat untuk melindungi jiwa yang meninggal dari kejahatan. Seiring waktu, kelas atau kelompok yang lebih kaya mulai mengadopsi teknik mumifikasi ini dan, akhirnya, hierarki pemakaman dan pembalseman orang-orang mati elite pun berkembang pada masa Mesir kuno tersebut.
Baca Juga: Ilmuwan Menciptakan Kembali Suara Nesyamun, Mumi Pendeta Mesir Kuno
Source | : | Yahoo News,ancient origins |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR