Banyuwangi, untuk orang seperti saya yang lahir dan besar di sana tapi sudah berpuluh tahun meninggalkannya, bagai sebuah novel sastra yang perlu berkali-kali membacanya. Setiap pulang selalu merasa ada halaman baru yang belum dirambah. Setiap berkunjung bahkan ada halaman lama yang perlu dibaca ulang. Selalu saja ada kejutan kecil sampai besar yang memberi wawasan baru tentang tanah kelahiran.
Kreativitas orang-orangnya akan musik tradisional, kelompok anak-anak mudanya yang bergerak menggapai masa depan, dan terutama kehangatan pribadi-pribadinya. Apalagi pembicaraan dalam bahasa daerah, Basa Using, yang egaliter tak mengenal perbedaan kasta pembicara, sangat menambah keakraban. Orang luar melihatnya sebagai sesuatu yang kasar, karena diukur memakai aturan bahasa lain yang membedakan kedudukan pembicara. Yang terpenting adalah rasa kedekatan. Misalnya, Bahasa Using, kalau hendak memuji orang lain pun, harus diawali dengan makian terlebih dahulu. Kata-kata “balak” (sial) “jerangkong” (hantu), bisa menjadi kata pembuka untuk memuji. Misalnya, “Jerangkong, kari ayu lare iku yak, anake sapa endane” (Hantu gentayangan! Betapa cantiknya anak itu, anak siapa ya?). Tidak ada kata pujian asli Bahasa Using. Semua kata serapan, seperti “hebat”, “keren”, paling dekat “apik.”
Di tengah gencarnya pembangunan pariwisata, sehingga sampai Pemerintah Kabupaten diganjar penghargaan terbaik dalam Tata Kelola Pemerintahan di bidang Pariwisata dari United Nations World Tourism Organisation (UNWTO) awal 2016, tumbuh pula beragam komunitas mandiri yang dimotori oleh orang-orang muda yang sebenarnya bukan ‘pariwisata’ yang menjadi tujuan utama. Mereka lebih menekankan pembangunan manusia lokal, maka pariwisata akan mengikuti. Mereka percaya, pariwisata hanya produk sampingan yang tumbuh seiring lebih maju pembangunan manusianya. Saya mengunjungi Kawentar, komunitas di daerah Banjar Licin, tempat yang dipenuhi dengan sawah dalam kontur geografis seperti ukiran alam. Lantas saya menuju Kawitan di Temenggungan tengah kota. Saya ke Bangsring tempat masyarakat menjaga lingkungan pesisir, dan komunitas pelestari budaya lewat permainan kuartet.
Desa Banjar agak naik ke atas, di bawah kecamatan Licin yang merupakan kecamatan paling atas sebelum menuju Gunung Ijen. Di jalanan yang berada di bibir jurang di sebelah bukit dari kecamatan Glagah itu memang berjajar beberapa desa yang terkenal dengan hasil pertaniannya. Sawah-sawahnya luas dan karena air berlimpah, jenis sawah malik damen atau bisa ditanami sepanjang tahun. Kontur tanahnya naik turun dan penuh dengan pohon-pohon buah seperti manggis, durian, dan buah lokal lainnya semisal kepundung (menteng), wuni, dan kedompyong (gowok).
Di Banjar saya menemui Cacuk Samsudin, salah seorang penggerak Komunitas Wisata Desa Banjar (Kawentar). Pada awal tahun ini mereka membikin festival Sadap Nira, yang membuat desa mereka menjadi salah satu tujuan wisata: trekking, melihat sadap nira, pembuatan gula, dan pembuatan makanan tradisional. Mulanya, kata Cacuk, keinginan gerakan mereka menyatukan dua kubu pendukung calon kepala desa yang bertentangan, sekaligus dapat membuat suatu event yang dapat menggerakkan semua komponen pemuda desa. Maka jadilah, acara Using Culture Festival yang masuk dalam agenda pariwisata Pemerintah Kabupaten.
Cacuk mengatakan produk andalan yang ditawarkannya adalah trekking di persawahan menuju tempat pohon-pohon aren yang sekarang menjadi bagian wisata sadap nira. Sawah di Banjar berpetak-petak sebagian berundak-undak di ketinggian di mana orang bisa melihat selat Bali. Indah sekali. “Orang Using di Banjar sini membaca mantra-mantra, berpakaian hitam-hitam sebelum melakukan sadap nira,” kata Cacuk. Suasana magis terasa kental. Selain upacara sadap nira, wisatawan disuguhi sendratari tradisional sadap nira dan cara pengolahan nira menjadi berbagai makanan manis dan gula nira. Gula ini menjadi bagian penting dalam hidup keseharian orang Banjar saat menikmati kopi pahit di tangan kanan, mereka memegang gula aren di tangan kiri untuk digigit (cokot, dalam bahasa Using). Sehingga timbul istilah “kopi cokot” kopi gigit atau “kopi othek” karena bunyi gula patah “thek” saat digigit.
Pemuda desa kini bersemangat dan berbaur menyiapkan apa yang dibutuhkan wisatawan selama di Banjar. Menciptakan industri turunan, misalnya kue dan camilan untuk oleh-oleh.
Semangat mandiri, sejalan dengan yang dikerjakan pemuda-pemuda di Kampong Wisata Temenggungan (Kawitan). Saya menemui salah satu penggerak Kawitan: Tri Andrie, yang tergerak karena berbagai masalah yang dihadapi oleh orang Temenggungan. Seperti namanya, desa ini dulunya tempat para Temenggung jaman dahulu bermukim. Pendopo bupati sampai sekarang juga berada di kampung yang terletak di tengah kota ini. Selain ada Sumur Sritanjung, sebuah legenda tentang asal-usul nama Banyuwangi, juga terdapat kampung batik. Dipercaya, asal mula batik Banyuwangi mengawali industrinya di sini. Orang-orang di kampung batik Temenggungan diyakini mendapat ketrampilan karena kebiasaan membatik jaman dahulu yang hanya berkembang di antara keluarga darah biru. Di bawa dari pendopo ke luar di kampung belakangnya. Temenggungan punya segala peninggalan kebesaran jaman kuno, tetapi pada saat yang sama banyak juga pengangguran dan anak-anak yang tak tahu mesti mengerjakan apa dalam waktu luangnya.
“Kesenian bukan barang dagangan. Pariwisata juga bukan barang dagangan. Kita bermain musik dan menarik orang untuk berkunjung, itu dampak sampingan,” kata Tri. “Yang penting bagaimana manusianya mau mengubah dirinya menjadi lebih baik.”
Tri dan sahabatnya Bachtiar Djanan, melihat Temenggungan juga punya potensi musik, dan dari sini sudut pandang orang-orangnya mulai diubah. Sejak dulu Temenggungan merupakan gudang musik patrol. Setiap kejuaraan musik rakyat, antara tahun 1970 dan 1980, grup dari Temenggungan selalu mendapat tempat terbaik. Maka mulailah pertunjukan kesenian digelar kembali setiap minggu, di sebuah gang jalan desa. Grup anak-anak dibentuk juga. Dan hasilnya, dalam waktu hitungan bulan, sudah menarik kehadiran wisatawan dari berbagai kalangan. Ada mahasiswa yang mempelajari wisata di desa ini, ada pemusik asing yang ikut nge-jam.
“Kesenian bukan barang dagangan. Pariwisata juga bukan barang dagangan. Kita bermain musik dan menarik orang untuk berkunjung, itu dampak sampingan,” kata Tri. “Yang penting bagaimana manusianya mau mengubah dirinya menjadi lebih baik.”
“Sebelumnya bukan tanpa penolakan. Ada juga orang tua yang melarang anaknya bergabung, tapi saya yakinkan bahwa dalam tahun-tahun mendatang anak ini yang akan mengganti peran orang tua. Baru orang tuanya hatinya luluh.”
Saat ini hampir setiap minggu Kawitan menggelar pertunjukan musik. Grup musik tradisional mereka bahkan sempat diundang ke Malang, Jawa Timur, berkolaborasi dengan penyanyi Trie Utami, membawakan lagu tradisional Banyuwangi yang diarransemen dengan balutan musik jaz. Dampak ikutannya, penduduk sekitar ikut merayakannya. Seorang warga negara Mesir bernama Ahmed bahkan sudah berbulan-bulan tinggal di Temenggungan ikut menyelami kehidupan kampung, ikut memainkan musik, ikut belajar menyanyi lagu-lagu Using. Semua kegiatan dibiayai sendiri tanpa ada bantuan dari pemerintah daerah.
Semangat mulai dari perbaikan komunitas juga dikerjakan oleh Ikhwan Arif di kawasan pesisir Bangsring. Mulanya yang ia lakukan adalah mengajak para nelayan perusak terumbu karang untuk ikut melestarikan. Ia dirikan kelompok nelayan. Lantas karena usahanya, ia diganjar rumah apung dan perahu plastik yang anti karat. Taman laut yang berada di areal sekitar 15 hektar itu menjadi tempat kelompok nelayan itu menanam terumbu. Memancing dilarang, kecuali di luar area terlarang. Ikhwan membangun tempat yang ia sebut sebagai apartemen ikan, untuk tempat bertelur ikan-ikan, yang membuat taman laut itu jadi ramai dikunjungi wisatawan.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR