Penyeka kaca mobil Arctic Adventures kami bergerak-gerak lambat, menghalau salju yang berubah jadi air di kaca depan. Seluruh kaca jendela mobil tersamar oleh embun. Di luar badai kencang. Kami dikelilingi oleh selimut salju yang membuat segalanya hanya kelihatan putih. Itu sebabnya mobil kami berjalan merangkak. Sesekali, kami berpapasan dengan mobil lain yang juga melaju lambat.
Sore itu, jarak pandang tidak lebih dari sepuluh meter. Batas-batas antara jalan raya dan padang es tidak jelas lagi. Aspal tertutup salju. Satu-satunya penanda bahwa kami masih berada di jalan raya adalah pembatas berwarna oranye di kiri dan kanan jalan yang terpasang setiap lima meter.
Semakin gelap, wajah Frímann Ingvarsson terlihat tegang di balik kemudi. Tubuhnya dimajukan sedikit menempel ke setir, supaya ia bisa melihat lebih jelas. Frímann adalah pemandu dari Arctic Adventures, operator tur kami untuk mengembarai pesisir selatan Islandia.
Hati saya berdegup-degup, namun mencoba tenang. Sempat terlintas, kalau tidak selamat dari badai ini, setidaknya saya mengisi jam-jam terakhir hidup dengan luar biasa. Pasrah.
“Hi, i am frímann,” katanya saat pertama kali bertemu dengan saya dan Giri Prasetyo, teman seperjalanan saya.
Kami dijemput tepat di depan penginapan di Reykjavik pagi-pagi sekali. Kami siap untuk berpetualang di area pesisir selatan Islandia. Kenapa wilayah selatan? Sebab, di sinilah tempat beragam air terjun mengagumkan, padang gletser terluas, serta danau gletser terdalam di Eropa.
Dari Reykjavik, kami butuh waktu hingga lima jam untuk sampai di South Coast. Jalan raya di sini terlihat begitu panjang dan sepi. Kadang-kadang berliku di beberapa tempat. Ini mengingatkan saya pada novel klasik karya sastrawan angkatan Pujangga Baru, Mochtar Lubis. Judulnya, Jalan Tak Ada Ujung.
Sepanjang jalan, di kanan dan kiri, panorama yang tertangkap mata didominasi warna putih. Sesekali, ada kuda-kuda berbulu tebal yang berlari-lari di atas salju. Rumah-rumah kecil terlintas cepat.
“Ó, góðan daginn. Ég úr þér ríf ísjaka og grýlukertin og harðfenni og hendi út á haf Þar sem sjórinn flæðir og salt ísinn bræðir.”—Oh, selamat pagi. Saya mengentaskanmu dari gunung es dan salju beku, lalu membuangnya ke laut tempat alun laut dan garam melelehkan es.
Sekejap dendang si Jonsi—gitaris dan vokalis Islandia dari kelompok band Sigur Rós—bergaung di benak seketika saat saya melihat salju sebanyak itu.
Orang-orang Islandia berbicara sangat cepat. Mereka memiliki aksen unik saat berbahasa Inggris, namun tak sekental aksen orang Skotlandia. Di belahan bumi ini saya menjumpai kesulitan untuk mengingat sederet toponimi—bukan karena kedinginan, melainkan kesulitan mengingatnya. Butuh waktu beberapa hari untuk bisa mengingat nama-nama ikonik seperti Hallgrimskirkja, Laugavegur, Skipholt, Svinafellsjokull.
Begitu tiba di pesisir selatan, kami mendatangi dua air terjun tercantik di dunia: Seljalandsfoss dan Skogafoss.
Destinasi pertama, Seljalandsfoss yang berada di “Route 1”. Begitu berdiri di hadapannya, saya bisa tahu alasan air terjun ini disebut tercantik di dunia. Air terjun ini memiliki tinggi 60 meter dengan dinding-dinding batu kehitaman yang gagah.
Karena musim dingin, bibir air terjun kelihatan membeku—walaupun tidak menghalangi aliran air untuk jatuh. Air yang baru jatuh dari ketinggian puluhan meter itu langsung mengalir ke Sungai Seljalands.
Beberapa orang saya lihat masuk ke belakang aliran air terjun. Rupanya, memang ada rongga di balik air terjun yang memungkinkan kita untuk menikmati Seljalandsfoss dari sisi yang lain. Menarik, tapi saya lebih memilih untuk duduk di kursi tidak jauh dari air terjun.
Bersamaan dengan mulai membekunya bokong saya, kami beranjak ke Skógafoss. Masih melewati Route 1, air terjun ini berjarak tidak lebih dari 30 menit dari Seljalandsfoss.
Seljalandsfoss terasa lebih gelap dan cenderung sepi, sementara Skógafoss lebih terang karena tebing-tebingnya tidak sepenuhnya tertutup salju, dan berwarna kecokelatan.
Skógafoss juga memiliki sebuah sungai yang mengalir di bawahnya. Namanya Sungai Skógá. Menariknya, tebing setinggi 60 meter ini dulunya adalah tebing di garis pantai pesisir selatannya. Tetapi kini, garis pantai sudah surut sejauh lima kilometer dari Skógafoss.
Menurut data dari Icelandic Tourism Board, wisatawan luar negeri yang datang ke Islandia didominasi oleh Inggris, Amerika Serikat, Jerman, negara-negara Skandinavia, dan Prancis. Sementara, wisatawan Asia, terutama Tiongkok, baru beberapa tahun belakangan mulai meningkat.
“Kira-kira sejak 2010, setelah erupsi Eyjafjallajökull, peningkatan pariwisata di Islandia mulai tinggi, mencapai sekitar 25-30 persen per tahun. Bisa dibilang, erupsi itu membuat Islandia mulai diperhitungkan sebagai destinasi wisata,” tambah Aron Logi Hjaltalín, manajer produk Arctic Adventures.
Vatnajökull juga disebut sebagai wilayah ice cap dengan volume terbesar di dunia. Volumenya mencapai hingga 3.100 kilometer kubik dengan rata-rata ketebalan 400-1.000 meter!
Hari pertama di pesisir selatan Islandia ini ditutup dengan menikmati Reynisfjara, pantai pasir hitam dengan ombak yang cukup tinggi. Ia memanjang hingga 180 kilometer dan berada dekat dengan Vík (Vík í Mýrdal), kota paling selatan di Islandia.
“Itu disebut Garðar. Jadi, tumpukan basal yang membentuk kolom-kolom ini terwujud dari magma yang perlahan mendingin,” urai Frímann.
“Yang lebih menarik justru itu,” Frímann menunjuk ke dua bongkah batu di tengah laut.
Kedua batu di Reynisfjara tersebut dinamakan Reynisdrangar. Mereka percaya bahwa keduanya adalah troll yang berusaha untuk mendarat di Reynisfjara sebelum pagi. Namun, waktu mereka tidak cukup. Mereka kemudian terpajan sinar matahari dan berubah menjadi batu.
Sudah bukan rahasia lagi kalau orang-orang Islandia percaya akan keberadaan troll, elf, dan makhluk-makhluk mitologi lainnya. Menurut Kantor Berita Reuters, sekitar sepuluh persen orang-orang negeri ini percaya supranatural dan makhluk-makhluk mitologi, sepuluh persen lainnya tidak percaya, dan selebihnya tidak menerima tetapi tidak juga menolak.
Hari kedua di pesisir selatan adalah tentang gletser. Semalam, saya dan Giri tidak kembali ke Reykjavik. Kami tinggal di Skaftafell, kawasan yang termasuk Taman Nasional Vatnajökull sejak 2008.
Di awal pagi, langit cerah berwarna biru. Saya melihat gawai cerdas yang menunjukkan suhu 4 derajat Celsius.
Ada rumah kecil biru di samping penginapan. Warga Islandia selalu membuat rumah-rumah kecil di sebelah rumah utama. Kadang mereka menggunakannya sebagai gudang. Tetapi, sebagian besar percaya, ini diperuntukkan bagi tempat tinggal elf, sehingga menghindarkan diri mereka dari kesialan.
Negeri di tengah Samudra Atlantik ini memiliki sekitar 200 gunung berapi yang sebagian besar masih aktif. Bahkan, negeri ini dijuluki sebagai The Land of Ice and Fire oleh banyak orang. Saya bisa paham alasannya setelah berkesempatan menjelajahi Vatnajökull. Jökull dalam bahasa Islandia artinya “gletser”, sementara Vatna berarti “air”.
Vatnajökull bukan sembarang padang gletser. Inilah area gletser terbesar di Islandia dan kedua di Eropa, yang menutupi hingga delapan persen dari daratan negara ini. Vatnajökull juga disebut sebagai wilayah ice cap dengan volume terbesar di dunia. Volumenya mencapai hingga 3.100 kilometer kubik dengan rata-rata ketebalan 400-1.000 meter!
Frímann melewati sebuah jembatan, lalu berbelok di lahan parkir. “Selamat datang di Jökulsárlón!” katanya. Banyak jip berban besar terparkir di sana. Kami sampai di danau terdalam dan salah satu yang terbesar di Eropa. Letaknya di gletser Breiðamerkurjökull. Ukuran danau ini sudah membesar empat kali lipat sejak 1970-an, karena mencairnya gletser.
Sebagai orang Nordik, ia bisa jadi sudah tahu akan bidal lama yang terbilang, “Kemst þó hægt fari,” yang artinya “kita akan mencapai tujuan, meskipun bepergian perlahan-lahan.”
Suara Frímann memecah keheningan. Ia memperkenalkan kami kepada seorang lelaki yang sudah lengkap dengan helm dan crampon di kakinya. Rupanya, hal pertama yang kami lakukan hari itu adalah ice caving.
Mengendarai jip, kami menyusuri Breiðamerkurjökull yang sangat putih. Terasa ban-ban jip menapak salju, suaranya seperti melindas kapas renyah.
Setelah 15 menit menyusuri padang gletser, kami tiba di sebuah titik pemberhentian. Hanya ada mulut kecil di permukaan gletser, yang kemudian seperti membentuk terowongan bawah tanah.
Menjelajahi gua es ini hanya bisa dilakukan saat musim dingin. Lokasinya berubah-ubah. Gua es yang saya datangi disebut Crystal Cave. Letaknya di Breiðamerkurjökull, area terbaik untuk mengeksplorasi gua es di Islandia.
Crampon sudah terpasang di kedua kaki, dan helm sudah aman melindungi kepala. Saatnya menjelajahi gua es!
Sesuai namanya, “gua kristal”, dinding-dinding es ini begitu bening, serupa kristal. Di dalam es tersebut, kadang ada guratan-guratan hitam yang berasal dari debu vulkanik. Dinding es menerangi gua dengan warna biru nan cantik. Kadang, kami harus berjalan jongkok. Kadang bahkan merangkak untuk menelusuri gua.
Tiba-tiba turun salju. Semakin lama, semakin deras. Membuat Frímann memutuskan agar kami segera menuju destinasi berikutnya: Svínafellsjökull.
Jika ada yang bisa membuat bulu kuduk saya berdiri melebihi dinginnya suhu di Islandia, salah satunya mungkin Svínafellsjökull. Lokasinya masih berada di kawasan lestari Taman Nasional Vatnajökull.
Sejak masih berada di jalan raya, saya sudah bisa melihat gerai-gerai gletser karena warna birunya yang memukau. Es-es di Svínafellsjökull seperti pahatan maestro seni rupa. Bentuknya begitu estetis. Beberapa menyerupai ombak. Beberapa yang lain begitu mulus seperti dipoles.
Banyak orang menjadikan Svínafellsjökull sebagai spot glacier walk favorit di Islandia. Hanya saja, begitu berhadapan dengan alam bebas, kita harus berangkat dengan persiapan yang matang. Seperti crampon, helm, kapak es, dan lain-lain. Ada papan peringatan yang menyadarkan kita untuk hati-hati, seperti tugu peringatan hilangnya Mathias Hintz dan Thomas Grundt dari Jerman, sejak 1 Agustus 2007.
Kian sore, suhu semakin dingin, mencapai di bawah nol derajat Celsius. Angin membesar. Langit juga mulai tertutup kabut salju. Kami masih harus menempuh perjalanan selama lima jam untuk menuju Reykjavik.
Seisi mobil mulai bersuara ketika di kiri-kanan jalan sudah ada lampu jalan. Tandanya, Reyjkavik sudah dekat. Di hadapan kami, mulai kelihatan lampu-lampu permukiman yang tampak seperti bokeh.
“Well, Reykjavik, guys!” ada kelegaan dalam suara Frímann.
Ah, untunglah, Frímann berhasil mengeluarkan kami dari selubung salju itu dengan selamat. Sungguh, pemandu yang andal dan sopir yang cekatan. Sebagai orang Nordik, ia bisa jadi sudah tahu akan bidal lama yang terbilang, “Kemst þó hægt fari,” yang artinya “kita akan mencapai tujuan, meskipun bepergian perlahan-lahan.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR