saya dan teman-teman memulai perjalanan dari Kathmandu. Dari jantung ibu kota ini, kami meniti perjalanan dengan bus yang sejatinya cukup nyaman. Celakanya, ketika kami melewati rute berliku, beberapa penumpang mengalami mabuk perjalanan. Parahnya lagi, mereka tak kuasa muntah di dalam kabin. Saya terpaksa membuka jendela bus, membiarkan angin dingin memasuki kabin.
Nepal terlihat religius. Rumah ibadah berdiri sangat megah. Saya banyak menjumpai tulisan “Buddha was born here” di berbagai kendaraan atau pertokoan—meski 80 persen warganya adalah Hindu.
Hawa dingin yang menyentuh kulit menjadi terasa ngilu, walau baju saya berlapis. Bahkan, saya perlu tambahan baju hangat yang terpaksa dibeli di toko setempat. Saya sekadar berjaga-jaga, karena perjalanan ke Pegunungan Himalaya tentu rasa bekunya akan lebih menantang ketimbang Kathmandu. Yang membuat saya heran, betapa pun dinginnya, warga setempat menyikapi musim dingin hanya dengan selimut tebal—tanpa pemanas ruangan.
Selama delapan jam perjalanan yang memuakkan, akhirnya saya sampai juga di Pokhara. Kota ini menjadi kegemaran bagi para pejalan karena bentang kotanya menyajikan keindahan Pegunungan Himalaya dari jarak yang lebih dekat.
Di Pokhara, saya bertemu dengan Tai Eagle Oak, lelaki berusia 70 tahun yang membiarkan rambut, jenggot, dan kumisnya memanjang—mirip Leonardo Da Vinci! Dia pemilik situs American Bhogee, yang berisi filosofi-filosofi kehidupan yang telah ia alami. Kebetulan Tai menghuni kamar di sebelah kamar saya, sehingga kami lebih mudah berbincang.
“Saya tidak punya rumah, tidak punya mobil, tetapi saya merasakan bahwa saya kaya raya,” ucap Tai Eagle Oak.
Tai berkebangsaan Amerika. Namun, dia telah meninggalkan segala kemegahan Los Angeles dan menghabiskan waktunya bertahun-tahun menjadi “seorang kaya tanpa punya apa-apa,” demikian kisah Tai kepada saya. Menjadi seorang petapa adalah pilihan hidupnya. Sudah tiga bulan ia di Nepal. Sebelumnya, dia menghabiskan hidupnya bertahun-tahun di India. Menurut Tai, saat kita menginginkan banyak hal, berarti sejatinya kita belum kaya. “Saya tidak punya rumah, tidak punya mobil, tetapi saya merasakan bahwa saya kaya raya,” Tai mulai berfilosofi. “Sebab saat semua yang saya miliki saya lepaskan, kedamaian yang selama ini terhalang menjadi masuk dengan sendirinya.”
Memang tidak sedikit orang barat yang saya jumpai di Nepal memilih hidup seperti Tai. Mungkin pilihan hidup seperti itu bukanlah pilihan yang menarik bagi saya yang terbiasa dalam budaya hedonis.
Koakan burung gagak bersahutan di atap penginapan. Semula saya merasa suara gagak membawa hawa kengerian. Namun, di sini koakan gagak adalah pengganti kokokan ayam jantan yang menandai datangnya pagi.
Rhames, pemilik penginapan, berkata kepada saya, “Jika cuaca bagus, dari Pebukitan Sarangkot engkau bisa memotret Pegunungan Himalaya yang terpancar di Danau Phewa,” ujarnya. “Cukup naik sampan yang bisa didayung sendiri sekitar 20 menit menuju ke seberang.”
“Ini Keshab,” Rhames memperkenalkan seseorang berperawakan tinggi-ceking dan berkulit gelap kepada saya. “Dia akan membantu membawa barang bawaan Anda, sekaligus bisa memandu jalan.”
Empat derajat Celsius. Saya berbaju tebal berlapis tiga ditambah jaket. Penampilan aneh ini membuat saya bertahan, meskipun tubuh terasa berat dan kaku akibat balutannya. Keshab membawa sebagian perlengkapan kami, terutama kantung tidur.
Persingggahan pertama kami adalah Nayapul, sebuah desa kecil di ketinggian seribu meter. Jaraknya sekitar 45 menit berkendara jip dari Pokhara. Keshaf mendahului menuruni tangga. Lalu, dia masuk ke gang sempit sembari berujar, “Hayoo, kita mulai petualangan kita.”
“Namaste” demikian ucapan salam khas Nepal dari anak-anak setempat. Kami memasuki area Konservasi Annapurna, meniti jalan setapak yang dibangun di perbukitan. Sisi kanan kami adalah tebing curam, sementara sisi kiri adalah lembah.
“Itu Sungai Bhurungdikhola, langsung mengalir dari Himalaya,” ujar Keshaf. Sungai itu melalui berbagai desa beratus-ratus kilometer jauhnya. Kemudian dia melanjutkan, “Saat ini alirannya dalam puncak dinginnya, dan tidak pernah kering walau musim panas sekalipun.”
Nepal memang daerah kering, tetapi air tawar berlimpah ruah di sini. Himalaya adalah mata air abadi bagi penduduk Nepal. Mereka menggunakan pipa untuk mengalirkan air deras ke rumah-rumah, tanpa ada kran air yang menghentikannya. Saya menyusuri jalan setapak yang menanjak sembari menanggung perbekalan di punggung. Inilah derita hidup bagi saya yang baru pertama kali melakukan penjelajahan.
Sekali lagi Keshaf membuat saya khawatir. Bagaimana tidak? Kemarin saya merasakan napas nyaris berpisah dengan tubuh.
“Ini talli nepal,” kata Keshaf sembari menyodorkan makanan yang mirip dengan kari india, namun dengan tambahan beragam menu.
“Porsi ini sangat banyak buatku,” saya menimpali Keshaf.
Santapan lezat ini disajikan dengan piring besar yang terbuat dari logam kuningan, dan mangkuk-mangkuk kecil berisi kari daging, sayur, yoghurt, dan sayur kacang. Santan menjadi dominasi utama makanan orang Nepal, kendati kelapa tidak ditanam di negeri itu. Mereka mengimpornya dari India.
Esok paginya kami melanjutkan perjalanan. “Hari ini penjelajahan kita lebih jauh dengan elevasi lebih berat dari kemarin,” ujar Keshaf membuka percakapan. “Kita harus sampai ke Ghorepani sebelum matahari terbenam.”
Sekali lagi Keshaf membuat saya khawatir. Bagaimana tidak? Kemarin saya merasakan napas nyaris berpisah dengan tubuh. Beberapa ruas jalan setapak meninggalkan butiran-butiran es yang menggumpal. Salah melangkah, bisa membuyarkan semua tujuan. Ghorepani berada pada ketinggian 2.860 meter di atas permukaan laut. Keshaf beberapa kali berhenti menunggu saya. Dia berjalan sungguh cepat, tenaganya berlimpah walau bawaannya lebih berat dari saya.
Saya memerhatikan seorang teman seperjalanan, Kokom, yang berjalan terseok-seok. Beberapa kali dia memegangi perutnya sembari merintih.
“Aku masuk angin,” katanya kepada saya dan Keshaf. “Dulu, waktu mendaki Rinjani juga demikian, tetapi saat turun bisa sembuh sendiri.”
Keshaf berpendapat lain. Menurutnya ini adalah mountain sickness—atau “penyakit ketinggian”— suatu penyakit yang banyak menyerang para pendaki gunung. Penyakit ini terjadi terutama pada pendakian lebih dari 2.400 meter. Tidak jarang, pendaki meninggal karenanya. Kami pun makin khawatir dengan kondisi Kokom yang semakin tak berdaya. Pilihan untuk kembali nyaris tak mungkin, mengingat perjalanan kami sudah cukup jauh.
Kami sampai di Ghorepani hampir malam. Tanjakan anak tangga di tebing yang curam, menguras daya sehingga saya lebih sering berhenti dari seharusnya—demi menyambung napas. Saya masih beruntung karena bisa menyaksikan Gunung Annapurna sebagai gunung tertinggi kesepuluh di dunia. Warna emasnya menyala-nyala sebelum tenggelam dalam bayang hitam. Senja itu tampak memukau dalam hening sunyinya, namun sanggup menggelitik semangat saya.
Penginapan kami memiliki tungku pemanas di ruang tengahnya. Sebuah tabung besar yang terbuat dari seng tertutup untuk mencegah asap masuk dalam ruangan. Aroma hangat menggeluti tangan dan muka. Kami berkumpul mengelilingi tungku, bersama beberapa pejalan lainnya.
Malangnya, Kokom langsung ambruk tak berdaya di dalam kamar. Tubuhnya lemah. Dia masih muntah beberapa kali sehingga membuat kami cemas. Lokasi di tengah perbukitan, pertolongan darurat amat sulit didapatkan di sini.
“Besok pagi sebelum subuh, jika memungkinkan kita ke Poon Hill, kita bisa menyaksikan matahari terbit menyempil riang dari ujung Himalaya,” ujar Keshaf. “Tetapi, saran saya, Kokom tidak ikut, sebab kita mesti mendaki bukit setinggi 400 meter lagi. ”
Jam lima pagi di Nepal jauh lebih gelap ketimbang Jakarta. Kami terkejut, Kokom telah bersiap dengan perlengkapannya, kendati badan perempuan itu cukup lemah. “Izinkan aku mengikuti kalian sampai ke Poon Hill. Aku sudah cukup jauh menjelajah sampai di sini, dan aku tak mau dikalahkan dengan mengabaikan Poon Hill,” ujarnya.
Semangatnya memang mengagumkan. Kami berharap agar kondisi Kokom tidak memburuk karena perjalanan pagi ini lebih menggigil daripada sebelumnya.
Sambil menanti datangnya matahari, saya melihat Kokom yang tampak segar bugar dan penuh semangat. “Keindahan Poon Hill telah menyembuhkan aku.”
Dalam beberapa hari ini bibir saya sudah pecah, terasa perih sehingga menyulitkan saya untuk makan. Butuh sekitar satu jam untuk meniti anak tangga yang cukup sempit. Saya mulai kehausan, dan saya tersadar telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan botol minuman lantaran saya menganggapnya sebagai pemberat perjalanan. Ini konyol!
Semula saya berpikir, saya tidak butuh air minum karena cuaca masih pagi dan dingin. Pada kenyataannya, saya salah besar. Cuaca kering ternyata lebih membutuhkan banyak minum meski udara terasa dingin.
Sambil menanti datangnya matahari, saya melihat Kokom yang tampak segar bugar dan penuh semangat. “Keindahan Poon Hill telah menyembuhkan aku,” ujarnya sambil asyik menggunakan gawai cerdasnya untuk berswafoto.
Annapurna dan Everest berada dalam dua sisi yang berjauhan, berpencar di belahan barat dan timur. Aroma Himalaya telah mengisi dada, meski saya tak kuasa menjelajahi puncak-puncaknya. Memotret lereng dalam jarak terdekatnya pun sudah cukup memuaskan saya.
Saya puas telah menyaksikan peninggalan kejayaan masa lampau di Kota Kathmandu dan Bhaktapur yang bertahan dari gempa bumi setahun silam.
Buddha mungkin tersenyum riang. Negeri tempat ia dilahirkan menjadi ramai oleh semua umat beragama dan suku bangsa. Mereka tidak sekadar berziarah, tetapi juga bertetirah, atau menetap di sini. Mereka telah larut dalam keheningan bersama koakan gagak. Saya merasakan kerinduan tentang Nepal ketika saya beranjak meninggalkan negeri ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR