Upacara pernikahan tradisional "chio tau" massal digelar Mal Ciputra Jakarta pada hari Minggu (5/2), dalam rangka memasuki Tahun Baru Imlek 2012. Tak kurang dari 20 pasangan asal daerah Kotabumi, Tangerang hadir mengikuti acara ini. Rata-rata merupakan pasangan yang sudah lama berkeluarga namun belum pernah melakukan chio tau.
Chio tau adalah sebuah budaya hasil asimilasi peranakan Tionghoa di Nusantara. Dalam bahasa Mandarin, chio tau berasal dari kata "shang dou" yang memiliki arti menata rambut.
Tidak mengherankan bahwa ciri khas busana pengantin untuk pengantin perempuan adalah riasan kepala berupa kembang goyang, selain belasan tusuk konde, daster hijau, serta kain merah bermotif dengan sulaman emas. Sedangkan mempelai laki-laki mengenakan busana seperti yang biasa dipakai di zaman kekaisaran Tiongkok.
Dipenuhi berbagai ritual, upacara chio tau memiliki makna sakral sebagai titik untuk beranjak dari dunia remaja (adolescent) ke dewasa (maturity). Pada umumnya chio tau dimulai dengan sembahyang di depan meja sesaji yang disebut Sam Kai, untuk memohon restu dari Sang Pencipta. Kemudian dilanjutkan sembahyang di hadapan meja leluhur, juga untuk memohon restu.
Berikutnya rangkaian prosesi yang terdiri atas penyisiran rambut, pemberian uang pelita, pemakaian baju pengantin, pemberian ciu (arak beras), makan hidangan dua belas mangkuk, hingga suap-suapan pengantin, dan lain-lain.
Menurut General Manager Mal Ciputra Ferry Irianto, even ini bentuk dari kepedulian sosial mereka pula bagi kaum peranakan Tionghoa yang kerap dikenal dengan sebutan China Benteng. Di kalangan kaum masyarakat ini, chio tau tidak selalu dapat dilangsungkan.
"Seiring modernisasi serta keterbatasan soal biaya, tradisi chio tau mulai dilupakan. Padahal chio tau adalah suatu tata cara pernikahan tradisional yang harus dipelihara."
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR