Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai kota pendidikan dan salah satu pusat kebudayaan Jawa, memiliki sejarah panjang dalam kemampuannya memberi ruang bagi keberagaman serta kemerdekaan berpikir berpendapat. Ini mendasari diadakannya aksi budaya "Dari Yogyakarta untuk Indonesia Bhineka", yang bakal digelar pada Minggu (24/6) di pelataran Gedung Agung, Yogyakarta.
Dalam siaran pers dari Forum YuK (Yogyakarta untuk Keberagaman) dikatakan, bahwa sejak dahulu Yogyakarta dikenal sebagai kota yang terus merawat nilai-nilai kebudayaan adaptif, toleran, dan terbuka terhadap perbedaan. Namun, realitas kehidupan berbangsa yang harmonis itu seakan terkoyak ketika akhir-akhir ini semakin marak aksi kekerasan mengatasnamakan agama.
Forum beranggotakan lebih dari seratus organisasi non pemerintah dan elemen masyarakat sipil ini menggelar aksi budaya. Sebagai wujud keprihatinan terhadap ancaman pelanggaran kebhinnekaan yang selama ini menjadi bagian dari keseharian masyarakat Yogya.
Penelitian The Wahid Institute mencatat, sebanyak 92 kasus pelanggaran kebebasan berkeyakinan terjadi di Indonesia selama 2011 lalu. Bentuk tindakan intoleransi tertinggi adalah intimidasi dan kekerasan, di dalamnya termasuk penyebaran kebencian (27 kasus), pembakaran dan perusakan (26 kasus), dan diskriminasi (26 kasus).
Rencananya, bersama Sri Sultan Hamengku Buwono X para peserta aksi akan membacakan "Manifesto Yogyakarta untuk Kebhinnekaan," juga membunyikan titir kentongan sebagai simbol peringatan. Titir kentongan biasa dipakai masyarakat Jawa saat ada kejadian bahaya. Aksi kekerasan yang berulang kali terjadi di Yogyakarta dimaknai sebagai ancaman terhadap sejarah panjang dinamika keberagaman di Yogyakarta dan Indonesia.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR