Tentang sebuah peristiwa di Karesidenan Magelang pada 8 Maret 1830 yang mengakhiri Perang Jawa, Djamhari berkata, “Dipanagara tidak tertangkap, tetapi terperangkap. Itu istilah sebenarnya.”
Dia menambahkan bahwa Dipanagara mengunjungi Hendrik Merkus De Kock untuk beraudiensi pada hari raya Idul Fitri. Tidak ada perundingan. Namun, pihak Belanda sudah menyiapkan untuk menangkapnya. “Kesalahan Dipanagara adalah mengandalkan kebaikan hati orang Jawa.”
Perang itu memang telah menimbulkan penderitaan dan keletihan luar biasa di kedua pihak. Sebanyak dua juta penduduk Jawa menderita akibat perang, seperempat seluruh luas pertanian rusak berat, dan sekitar 200 ribu orang Jawa menjadi korban. Sementara itu di pihak Belanda menelan kegetiran: sejumlah 7.000 orang Indonesia yang merupakan serdadu pembantu tewas bersama 8.000 serdadu Belanda.
Belakangan perang itu juga telah membangkrutkan kas pemerintah kolonial sehingga untuk memulihkannya perlu penerapan Cultuurstelsel (sejarawan Indonesia menyebutnya dengan tanam paksa) di Jawa pada 1830-1870. Namun, di daerah kerajaan Tanah Jawa tidak terjamah tanam paksa. “Belanda tidak melakukan tanam paksa di daerah Vorstenlanden,” ujar Djamhari. “Belanda sudah kapok.”
Demikianlah akhir Perang Jawa. Setelah peristiwa penjebakan di Karesidenan Magelang, Dipanagara dan pengikutnya dibawa ke Fort Ontmoeting di Ungaran. Kemudian, mereka berlayar lewat pelabuhan Semarang menuju Sunda Kelapa, Batavia. Setelah menjadi tahanan Balai Kota Batavia, lalu menuju pengasingannya di Fort Amsterdam di Manado. Pada 1834 dia dipindahkan ke Kastil Rotterdam di Makassar.
Perang itu juga telah melahirkan tatanan baru. Peter Carey dalam bukunya menjelaskan, bahwa Perang Jawa mengakhiri sistem ketika hubungan Batavia dan kerajaan-kerajaan di Jawa masih bersifat diplomatik, menuju ke tatanan baru masa kolonial kala kerajaan-kerajaan itu tunduk pada kekuasaan Eropa.
Lalu, apakah Dipanagara ini seorang pemberontak atau pahlawan? “Dia adalah pahlawan” ungkap Djamhari, “karena pada dasarnya melawan Belanda.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR