Harry Surjadi, jurnalis lingkungan dan juga pengamat media menyatakan masyarakat bisa belajar dari kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola hutan.
“Metode slash and burn yang menyebabkan kebakaran hutan di Riau juga sebenarnya sudah dikenal jauh oleh masyarakat adat, yaitu ladang berpindah.” Jelas Harry yang menjadi salah satu nara sumber dalam diskusi tentang isu perubahan iklim, dengan topik “Ada Apa Di Balik Kebakaran Hutan di Riau?” yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di gedung Dewan Pers, Senin (29/7).
Masyarakat adat menurutnya juga melakukan tebang dan bakar, bedanya lewat aturan adat mereka berkoordinasi. “Keluarga mana yang boleh tebang dan membakar lebih dahulu, setelah api diyakinkan telah padam lalu dilanjutkan oleh keluarga lain. Begitu seterusnya sehingga titik api terkontrol,” jelas Harry yang berpengalaman meliput kebakaran hutan di Kalimantan.
“Yang terjadi di Riau dilakukan oleh pendatang yang meniru cara tebang dan bakar masyarakat adat, tapi sayangnya tidak ada hukum adat yang mengatur. Semua beramai-ramai serentak membakar hutan untuk membuka lahan. Akhirnya terjadi kebakaran hutan di mana-mana.”
Bukan saja masyarakat umum yang terlibat pembakaran hutan di Riau, tapi juga dari perusahaan perkebunan. Hal itu disampaikan Brigjen Pol Gatot Subiyaktoro, Direktur Tindak Pidana Tertentu Mabes Polri, yang juga menjadi nara sumber diskusi. Berdasarkan hasil kerja kepolisian di lapangan.
“Ada perusahaan yang pemeriksaannya sudah naik ke tingkat penyidikan. Selain itu ada 27 orang ditetapkan jadi tersangka pembakaran hutan. Tiga orang sudah ditangkap yaitu Gondrong cs," papar Gatot.
Ada lima perusahaan yang terus diperiksa. Salah satu perusahaan yaitu PT. API di Kabupaten Pelalawan sudah mulai disidik. Polisi juga mendatangkan ahli tentang koorporasi dan kebun untuk menentukan siapa tersangka dalam pembakaran hutan di Riau.
Menurut Brigjen Gatot aturan pembakaran hutan yang tertuang dalam Penjelasan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu mendapat perhatian dari masyarakat, khususnya para jurnalis. Karena di pasal penjelasan pasal 69 ayat 2-nya disebutkan pembakaran hutan boleh dilakukan.
Ada pun penjelasan pasal itu berbunyi sebagai berikut, “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.”
“Bisa dibayangkan jika semua kepala keluarga membakar dua hektare?” tanya Brigjen Gatot. Tapi, pendapat ini ditentang oleh Harry yang menyatakan masyarakat adat tak akan serentak membakarnya. "Mereka punya aturan. Kaum pendatang yang meniru cara masyarakat adat tapi tidak dengan cara yang dibolehkan adat," ujar Harry.
Menurut Syamsidar Thamrin, Sekretariat ICCTF, “Aturan yang yang kita miliki sudah banyak tapi tidak dijalankan.” Untuk itu ICCTF berusaha untuk meningkatkan public awareness dan pembangunan kapasitas penduduk di lokasi-lokasi yang sering terjadi kebakaran hutan.
Menurut penelitiannya dari dulu penduduk membakar hutan dan tak merasa bersalah.
“Tapi kenapa akhir-akhir ini saja terjadi kebakaran hutan? Karena faktor perubahan iklim tak diperhatikan. Kearifan lokalnya harus berubah hitung-hitungannya karena ada perubahan iklim," jelas Syamsidar
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR