Kami meniti jalan melalui perbukitan, hingga sampai ke pedesaan. Anak-anak kecil berlarian sepulang sekolah. Beberapa remaja bermain sepak bola. Para ibu bercengkerama sambil menimang balita. Setiap senyum yang saya beri, selalu dibalas dengan penuh sahaja oleh mereka.
Bahkan kebutuhan Mang Fahmi, pemandu kami, akan alat penerang berupa lampu petromaks dipenuhi oleh segenap warga yang tinggal di tepi sungai, dekat jembatan gantung. Di bawah langit mendung, bersama Mang Fahmi dan lampu petromaksnya, kami berjalan meniti jembatan kayu kawat besi yang ringkih, menuju jalan di seberang, bersisian dengan sawah dan hutan, yang semakin mendekatkan kami dengan Gua Lalay.
Gua ini termasuk gua karst, yang terbentuk dari getaran tektonik. Getaran tersebut menggoyang lapisan tanah, dan akhirnya membentuk celah yang kini berbentuk gua. Retakan tersebut juga membentuk jalur aliran air, yang dapat melarutkan batu gamping. Sesuai dengan sifat fisiknya, batu gamping mudah larut dalam air.
Aliran air yang cukup dingin membasahi tubuh kami, hingga sekitar tiga sentimeter di bawah lutut. Dasar gua yang diperkirakan hampir 1.000 meter ini, benar-benar dialasi lumpur. Dengan kaki telanjang, sedimen lembut itu seakan menopang tubuh kami. Sisi buruknya adalah, lumpur tersebut membuat permukaan tanah menjadi sangat licin.
Kami terus menyisir lambung gua, dan menemukan beberapa celah yang ukurannya cukup besar. Jajaran stalaktit yang ada di dalam gua ini juga tergolong banyak. Keindahannya sempat membuat saya terpana. Kilatan cahaya memantul ketika kami menembakkan sumber cahaya ke tubuh stalaktit-stalaktit itu.
Tidak jarang untuk mencapai lokasi berikutnya, kami diharuskan berjalan jongkok atau sedikit melipir. Rahasianya adalah, menemukan bentukan permukaan lumpur yang paling padat, sehingga risiko terpeleset minimal.
Di pemberhentian pertama, kami menemukan sebuah area yang cukup besar, dan ada beberapa dataran yang lebih tinggi dan bisa dipijaki. Dari daya pandang saya, banyak stalaktit yang indah. “Kelelawarnya ada di dalam lagi,” jelas Mang Fahmi.
Setelah diberikan isyarat untuk terus melaju ke dalam, tanpa pikir panjang kami masuk ke dalam gua. Kali ini alir-n air semakin melambat, namun ketinggiannya bertambah. Sampai akhirnya kami menemukan spot terbaik di dalam gua. Di titik ini, terdapat kombinasi stalaktit di sisi kiri dan kanan yang indah, serta dinilai simetris.
Saya ragu akan menemukan kelelawar di dalam sana. Lagipula hari sudah semakin sore. Maka kami putuskan untuk berbalik arah, kembali menuju mulut gua. Saya merasa, semakin jauh kami berjalan ke dalam gua, semakin terasa pengap,persediaan udara menipis, sehingga saya harus dapat mengatur napas dengan baik.
Perjalanan keluar gua relatif lebih lancar, karena kami sudah mengenal medannya lebih dulu. Yang justru menyulitkan, selepas gua, menyusuri lagi jalanan tanah berbatu tanpa alas kaki. Kami mengakhiri petualangan hari itu, kembali ke kendaraan. Segera, menuju area petualangan berikutnya.
Gua Lalay terletak di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Perjalanan menggunakan mobil bisa dicapai dengan jarak 137 kilometer dari Rangkasbitung. Perjalanan dan Rangkasbitung melalui kecamatan Malingping. Kondisi jalan rusak sepanjang kurang lebih 27 kilometer di daerah Cileles – Malingping.
Kisah lebih lengkap gua ini pernah diangkat dalam National Geographic Traveler edisi April 2011.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR