Kalau menyebut makanan Madura, kerap kali orang langsung menunjuk soto madura. Memang benar, di Madura ada banyak soto, tetapi tak ada yang bernama soto madura.
Di Jalan Raya Raci yang menghubungkan Surabaya dan Pasuruan, kami menepi di warung Soto Raci Den Didik. Hal yang memikat untuk didatangi adalah sebuah pikulan soto, dengan sepanci soto yang mengepul. Pikulan soto itu identik dengan warung soto ala Madura. Sebuah papan penutup ditaruh di antara dua keranjang pikulannya. Di papan itu, tulisan besar tertempel, ”Soto Madura”.
Didik (21), pemilik warung, segera meracik hidangannya. Irisan besar daging sapi, juga irisan telur ayam rebus, muncul di permukaan kuah kuningnya yang cair. Rasa gurihnya tertawar oleh tetesan sari jeruk nipis yang disajikan terpisah dan soto itu disantap bersama nasi.
Didik tersenyum mendengar pembelinya puas. Ia lantas bercerita tentang keluarga besarnya yang turun-temurun jadi penjual soto madura.
Ia cucu Hajah Sofiah, penjual soto madura di Gubeng yang asal Bangkalan. Ayahnya, Nur Wasit, penjual soto di Pasuruan. Paman dan sepupunya berjualan di Surabaya dengan nama Soto Gubeng Pojok atau Soto Wawan. ”Saya mencoba memakai nama sendiri, Soto Raci Den Didik,” ujarnya.
Ia tertawa waktu ditanya apa ada kerabatnya yang membuka cabang di Madura. ”Di Madura, tidak ada orang berjualan soto madura seperti kami. Semua orang bisa bikin soto dengan resepnya sendiri-sendiri. Kalaupun sejenis, rasanya pasti berbeda. Kalau kami buka warung soto madura, siapa yang beli?” tuturnya.
Soto madura ”uasli”
Sepanjang perjalanan menyusuri Pulau Madura, kami memang tak menemukan warung ”soto madura”. Yang sedikit mirip hanyalah warung soto Keppo SMU, yang secara gurauan disebut sebagai singkatan dari ”soto madura uasli”. Namun, warung soto di Keppo, Pamekasan, itu pun menjual soto keppo, bukan soto madura.
Racikan soto keppo berbeda dengan ”soto madura” racikan Didik. Kuahnya bening dan cair, berisi suun, ayam, dan irisan telur. Taburan taoge goreng, juga ”bumbu utama” berupa remukan keripik, menemani beberapa potong lontong.
”Keripik ini dari adonan campuran tepung terigu dan tepung beras. Karena tepung berasnya itulah, adonan langsung remuk ketika dituang ke minyak goreng,” kata Halimah mengisahkan remukan keripiknya.
Di awal sajian, keripik remuk itu sedikit renyah, tetapi makin lama makin menyerap kuah soto yang segar. Kian lama sotonya berasa kian gurih karena keripiknya lebur menjadi bubur.
Dua soto di Sumenep memiliki racikan yang berbeda lagi. Di Warung Barokah di Desa Kebunagung, Yuni meracikkan soto daging sapi berkuah bening, dengan suun dan taoge goreng yang dipadu aroma daun bawang goreng. Ada satu bumbu sedap yang tak ada dalam racikan soto Didik ataupun Halimah, yaitu ulekan petis ikan dan kacang goreng.
Bumbu terakhir ini benar-benar menjadi benang merah bermacam soto di Sumenep. Kami juga mendapati ulekan petis ikan dan kacang tanah goreng saat menyantap soto ayam Afsatun (65) di seberang Pasar Rubaru, Sumenep. Kekhasan soto Afsatun adalah selodong besar taoge/kecambah goreng yang boleh diimbuhkan sesuai dengan selera. Baik soto Yuni maupun soto Afsatun sama- sama disantap dengan lontong.
Madura yang beragam
Budayawan Madura, Edi Setiawan, menyebut Madura memang kaya dengan beragam soto. Madura tidak pernah mempunyai satu versi soto yang diterima semua orang Madura sebagai soto madura.
Tahun 1970-an, soto madura identik dengan soto sulung yang kaya jeroannya. Soto jenis itu sama sekali tidak ada di Madura karena lahir dari upaya orang Madura melokalkan rasa sotonya di Surabaya. ”Karena jeroan dianggap berkolesterol tinggi, hari ini soto sulung kalah populer dibandingkan soto lamongan,” kata Edi.
Budayawan Madura lainnya, KH D Zawawi Imron, menyebutkan keragaman soto di Madura menunjukkan betapa beragamnya khazanah kuliner Madura. Menurut Zawawi, setiap daerah hampir selalu memiliki masakan yang serupa, tetapi berbeda dalam rincian bumbu ataupun penyajian.
”Di Madura, menu pesta perkawinan hampir selalu sama, tetapi tiap daerah memiliki versi masing-masing. Ada sebuah daerah yang orangnya begitu menggemari bumbu sehingga tamu kondangannya bisa mengeluh karena sajian pestanya seperti hidangan bumbu. Pergi ke daerah lain, orang justru mengeluh karena merasa memakan daging tak berbumbu. Nyatanya, Madura memang beragam-ragam selera,” tuturnya.
Keragaman Madura, antara lain, terbentuk oleh perkembangan sejarah dan situasi lingkungan yang membuat tiap pusat-pusat kekuasaan tradisional di Madura tumbuh secara mandiri. Seperti dikatakan Huub de Jonge, penulis Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, pada abad ke-18, orang di Madura lebih mudah menyeberangi Selat Madura menuju Jawa ketimbang mengitari pulau itu dengan jalan darat.
”Orang-orang Sumenep lebih banyak berurusan dengan penduduk di Jawa Timur daripada dengan penduduk Bangkalan dan Sampang. Banyak bagian dari utara dan selatan Madura yang satu sama lain terisolasi letaknya.
Begitu asingnya kita akan Madura sehingga kerap kali memahami Madura sebagai satu yang serupa.
Mulailah dari soto, betapa Madura begitu beragam rasa dan berupa-rupa selera.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR