”Pitik kate, mumbule endhek. Biyen sate, saiki bebek....” Parikan atau pantun itu rasanya pas buat menggambarkan Madura yang dulu suka sate sekarang suka bebek. Semua dipicu Jembatan Suramadu yang menyulap wajah pulau itu berubah jadi semringah.
Jembatan Suramadu yang menghubungkan Jawa Timur dengan Pulau Madura itu pula yang menggeser ritual bersantap sate ayam di Kamal, Madura, dengan ritus mengantre santapan bebek di puluhan warung dan kedai di Labang. Nanang, seorang konsumen bebek goreng, terdorong ke kiri-ke kanan dalam sesaknya para pengantre di kasir Warung Nasi Bebek Sinjay di Jalan Raya Ketengan, Bangkalan, Madura. ”Pokoknya, kalau mau antre di sini, jangan bawa perut lapar,” guraunya.
Itu antrean kedua yang harus dilakoni Nanang untuk bisa menyantap bebek goreng Warung Nasi Bebek Sinjay. Warung itu sedang naik daun. Antrean pertama kali di loket pemesanan berjalan dengan cepat: pesan, bayar, beres. Antrean kedua lebih sesak dan lama, menunggu ”hasil produksi” dapur di belakang loket.
Dapur di belakang loket pengambilan pesanan itu sibuk tanpa henti. Tiap sajian bebek yang keluar dari sana langsung berpindah ke baki, disodorkan kepada pengantre terdepan yang rata-rata sudah lima menit mengantre.
Rasanya tak akan ada yang tega memesan bagian bebek kesukaannya. Semua terima nasib—dapat dada ya makan dada, dapat paha ya makan paha.
Tri Prasetyo (45), pelancong dari Semarang, Jawa Tengah, sudah dua kali bersantap di sana, nyatanya tak jera. ”Di sini pembeli memang bukan raja. Namun, orang tetap kemari karena rasa bebeknya,” ujar Tri. Sopir mobil sewaan seperti Nanang kian sering diminta para penyewanya mengantar bersantap siang bebek di Bangkalan. ”Orang Jakarta, Padang, semua tahu, ada banyak warung bebek di Bangkalan. Ada yang sudah punya warung tujuan sendiri, ada yang minta dipilihkan,” ujarnya.
Puluhan
Sejak diresmikan pada 10 Juni 2009, Jembatan Suramadu mengubah wajah dua kota tempat ujung kedua jembatan berada, Surabaya dan Bangkalan. Namun, yang paling merona memang Bangkalan. Kecamatan Labang, misalnya, ujung jembatan di Bangkalan yang dulu nyaris tak dikenal orang luar Madura, tiba-tiba naik daun gara-gara jembatan sepanjang 5.438 meter itu, dan juga karena bebek!
Taufik (31), sopir taksi bandara yang kerap mengantar tamu ke Madura sejak 2004, adalah saksi perubahan wajah Bangkalan. ”Saya masih ingat Warung Nasi Bebek Sinjay saat itu warung kecil. Waktu itu warung nasi bebek bahkan masih sangat jarang. Sekarang, jumlah warung nasi bebek di Bangkalan ada puluhan,” kata Taufik.
Kini, begitu melintas di Labang, pengendara bakal disambut ratusan poster iklan bersantap bebek yang dipasang di tepi jalan. Mulai dari Bebek Bangal Tera’ Bulan, Pemadam Kelaparan Bebek Bakar Madu, Madurame, Maduratna, dan banyak lagi. Tiap tempat bersantap itu menawarkan kekhasan masing-masing.
Para pegawai Rumah Makan Jembatan Suramadu, misalnya, membangun suasana ”ini Bangkalan” dengan pakaian tradisionalnya. Selain menyediakan ”hanggar makan” seperti Warung Nasi Bebek Sinjay, rumah makan ini menyediakan pondok-pondok untuk suasana bersantap yang lebih pribadi. Sajian bebek gorengnya pun berbeda, lebih basah dibandingkan dengan sajian bebek Sinjay yang renyah.
Lain lagi dengan Bebek Songkem Pak Salim, yang menawarkan bebek kukus. Dibungkus daun pisang, bebek racikan Pak Salim empuk dan gurih oleh aneka bumbu. ”Bebeknya sepertinya biasa, namun bumbu pedasnya meresap,” ujar Saryono (47).
Para pemburu bebek di Bangkalan ternyata bukan hanya pelancong dari luar Jawa Timur. Menjamurnya bebek di Bangkalan pun disambut gempita oleh para penggila bebek dari Surabaya. Yusak (33) salah satunya.
”Saya penyuka bebek. Di Surabaya, banyak warung bebek. Saya pelanggan bebek Harisa, bebek di depan Tugu Pahlawan, bebek HT, saya berkeliling. Sekarang, sebulan sekali pasti saya mencari bebek di Bangkalan. Di Bangkalan, saya sudah punya warung favorit, tapi juga senang mencoba-coba racikan sejumlah warung lainnya,” kata Yusak.
Lain Labang, lain Kamal
Sementara Labang riuh oleh para pemburu bebek dari Surabaya, berdirinya Jembatan Suramadu juga menyisakan kisah surutnya kehidupan pelabuhan penyeberangan feri di Kamal, Bangkalan. Sebelum 2009, Kamal selalu berdenyut oleh aktivitas pelabuhan yang sibuk dengan feri penyeberangan dari dan menuju Surabaya. Kini, kota pelabuhan itu nyaris sunyi.
Akhir Agustus lalu, Fathur Rosi (21) santai duduk di jok sepeda motornya, menanti feri merapat. Tak ada antrean calon penumpang, tak ada kemacetan dan deru kendaraan yang tak sabar masuk kapal. Bahkan terminal angkutan umum di samping pelabuhan pun melompong.
Kamal kini hanya dihidupi sedikit orang, seperti Fathur, yang masih menjadikan feri pilihan utama untuk melintasi Selat Madura. Fathur bahkan mau merogoh kantong lebih dalam karena biaya menyeberangi Selat Madura dengan feri lebih mahal ketimbang tarif memasuki Jembatan Suramadu.
”Kalau naik feri, di atas kapal kita beristirahat. Pergi ke Jembatan Suramadu terlalu jauh, selisih jaraknya 25 kilometer,” kata Fathur yang tinggal di Bangkalan, sekitar 10 kilometer dari Pelabuhan Kamal. Kedekatan jarak membuat orang Bangkalan setiap saat menumpang feri.
Namun, warga Sampang, Pamekasan, dan Sumenep hampir pasti tak pernah lagi mendatangi Pelabuhan Kamal. Jembatan Suramadu juga membuat para pelancong kuliner asal Surabaya tak lagi sampai di Kamal.
Roby Kusuma Harta (37), yang tumbuh besar di Surabaya, masih mengingat bagaimana ia dan kerabatnya sesekali menikmati menumpang kapal feri dan bersantap di warung-warung sate di sekeliling Pelabuhan Kamal. Selesai bersantap, mereka langsung pulang ke Surabaya, lagi-lagi dengan menikmati sensasi pemandangan malam pesisir Surabaya dari atas feri.
”Saya bahkan pernah mengantar istri yang hamil muda dan ingin naik feri serta makan sate di Pelabuhan Kamal. Sekarang tak ada lagi cerita seperti itu. Kami sekeluarga lebih biasa melancong ke Madura dengan melintasi Jembatan Suramadu. Santapannya, ya bebek,” ujar Roby.
ukan hanya Roby yang tak singgah di Kamal, melainkan juga tukang sate yang dahulu mangkal di sana. Kini tinggal dua penjual sate ayam dan sate kambing membuka tendanya di terminal angkutan umum Kamal yang lengang. Mereka adalah Haji Hamzah (60) dan Mariana (37).
Pada masa jayanya, Haji Hamzah, yang mulai berjualan di Kamal pada 1984, tiap malam menjual 300 tusuk sate ayam dan sate kambing plus 5 kilogram nasi. Sekarang, Haji Hamzah yang berjualan pukul 16.00-21.00 hanya mampu menjual sekitar 60 tusuk sate berikut 1 kilogram nasi.
Mariana pun kian kekurangan pembeli. ”Dulu setiap hari memotong lima ayam, jualan cepat tandas. Sekarang, memotong tiga ayam pun tak kunjung habis dibeli. Jumlah pembeli sekarang tak sampai separuh jumlah pembeli sebelum Jembatan Suramadu dibuka,” kata Mariana.
Jika Kamal kian terlupakan, Jembatan Suramadu membuat si bebek di warung-warung Bangkalan kian naik daun....
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR