Minggu lalu, Etiopia membuka ladang angin terbesar di Afrika, Ashegoda Wind Farm, yang akan membangkitkan energi listrik sebesar 120 megawatt. Ladang angin ini diluncurkan hanya beberapa hari setelah Etiopia mengumumkan sebuah rencana untuk membangun fasilitas geotermal berkapasitas 1.000 megawatt, juga yang terbesar di Afrika.
Menurut Steve Sawyer, sekretaris jenderal Global Wind Energy Council, ekonomi yang sedang berkembang dan pemerintahan yang kian stabil membuat kebutuhan energi Afrika Timur semakin besar. "Warga melihat masalah polusi udara di Cina, karenanya mereka tidak menginginkan pembangkit listrik bertenaga batu bara," ujar Sawyer, seperti dilansir New Scientist (29/10).
Untungnya, pihak investor dari Eropa dan Cina membantu meringankan biaya pembangunan ladang angin ini, jauh lebih murah daripada pembangkit listrik tenaga batu bara. "Ini menjadi opsi yang menarik secara ekonomis," kata Sawyer.
Saat ini, 90 persen kebutuhan listrik domestik Etiopia berasal dari sumber-sumber tenaga air yang kapasitasnya besar. Dengan tambahan potensi energi geotermal dari kawasan Celah Afrika Timur, misi Etiopia untuk menjadi negara dengan karbon netral pada 2025 rasanya masuk akal.
Meski demikian, kemajuan pembangunan energi Etiopia ternyata belum dirasakan oleh penduduknya. Menurut Badan Energi Internasional, sebanyak 77 persen penduduk Etiopia belum memiliki akses listrik. Sebagian besar energi yang diproduksi diperuntukkan bagi kepentingan ekspor ke negara-negara tetangganya. Namun, kini pemerintah berupaya mengubah kebijakan tersebut.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR