Pada temuan arkeologis juga menunjukkan jenis tanah yang dikelola seperti sawah, gaga, renek, dan tegalan. "Pada relief Candi Borobudur menggambarkan, ada sepasang suami istri yang ingin pergi ke ladang dan membawa cangkul," tutur Titi saat menjelaskan temuan masyarakat agraris di acara Bincang Redaksi National Geographic Indonesia.
Kita mengetahui dari sumber tertulis ada jenis tanah yang dikelola, pertama adalah sawah, gaga, renek, dan tegalan. Pada relief candi Borobudur menggambarkan, ada sepasang suami istri membawa cangkul menuju ladang mereka. Di Candi Borobudur juga kita bisa mendapatkan adegan seorang sedang membajak sawah dengan dua ekor sapi.
Sementara di Bali, ada tahapan-tahapan mengerjakan sawah dari prasasti Songan Tambahan (1042), yakni:
Amabaki (pembukaan lahan).
Amaluku (membajak).
Atanem (menanam).
Amatun (menyiang padi).
Ahani (menuai padi dengan ani-ani).
Anutu (menumbuk padi).
Baca Juga: Kuasa Perempuan Sepanjang Riwayat Kerajaan-Kerajaan Jawa Kuno
Pada masa Jawa Kuno, Dewi Sri dianggap sebagai sosok yang mulia. Dia menaungi pada setiap bulir padi yang ditanam. Orang-orang Jawa kuno, memanen padi tidak menggunakan arit atau golok, melainkan harus diambil menggunakan ani-ani.
"Karena Dewi Sri berjiwa halus dan lembut akan ketakutan ketika melihat senjata tajam. Ini sebagai penghormatan kepada padi, karena ia dianggap sebagai perwujudan Dewi Sri," tutur Titi.
Titi melanjutkan, bahwa ani-ani juga bisa menjadi hiasan rambut perempuan. Tak hanya di atas rambut tapi juga di belakangnya. Walau demikian, menurut Titi, sudah tidak banyak ditemukan petani yang memakai ani-ani karena beralih ke teknologi.
Sementara di bidang perkebunan, ada sumber dari Dinasti Song (960-1279) bahwa tanaman yang biasa ditanam oleh orang Jawa ialah pepaya, kelapa, pisang raja, tebu, dan talas.
Di sisi lain, bagian perikanan juga ditampilkan di Candi Borobudur. Digambarkan masyarakat yang mengambil ikan, terutama jenis laut. Dalam prasasti dan naskah kuno juga disebutkan macam-macam ikan, seperti ikan kembung, layaran, kakap, tenggiri, bawal, selar, cumi, dan udang.
Pada akhir pemaparannya Titi memerikan beberapa larik Kakawin Ramayana Sarggah:
Raja bagaikan gunung, dan rakyatnya bagaikan rumput. Bertanggung jawab atas baik dan buruknya mereka untuk kebahagiaan. Bangsawan maupun rakyat jelata menjaga keseimbangan bagaikan hutan. Kamu adalah singa yang menjaganya sehingga terlihat indah.
Baca Juga: Jejak Tanah Leluhur Para Raja Jawa di Metropolitan Kuno Majapahit
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR