Kemauan para pedagang ini untuk berasimilasi semakin memudahkan persebaran Islam di Nusantara. Salah satu contoh bagaimana jaringan perdagangan ini menyebarkan Islam terlihat dalam Hikayat Raja-raja Pasai. "Dalam mengislamkan Pasai, Syeikh Ismail dipandu oleh seorang fakir dari Ma'bari. Teks ini juga menjelaskan bagaimana peran penting fakir dalam menyebarkan Islam lebih jauh," ungkap Jajat.
Syeikh Ismail sendiri merupakan ulama dan pedagang rempah dari Makkah. Kepadanyalah Meurah Silu mengucap syahadat dan menjadi Malik al-Saleh, sultan pertama Samudera Pasai.
Tidak hanya Syeikh Ismail dan Pasai saja, keberadaan jaringan ini tersebar luas dari Aceh hingga Ternate. Sebut saja Abd al-Ra'uf al-Singkili di Kesultanan Aceh, Sheikh Ulakan di Minangkaubau, Datuk ri Bandang di Kutai, dan sejumlah bangsawan Demak di Banjar.
Baca Juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial
Keberadaan jaringan perdagangan Islam dan Islamic habitus ini juga perlahan-lahan membentuk jaringan intelektual Islam. Para penyair kerajaan mengadopsi tata cara historiografi Islam yang tercermin dalam munculnya kitab-kitab Jawi, salah satunya kitab Bustan al-Salatin.
"Kitab Jawi memperkaya tradisi sastra di Asia Tenggara, mereka mendorong perkembangan bahasa Melayu serta menjadi medium ekspresi agama," tutur Jajat. Menurutnya, kitab Jawi yang tersebar di seluruh Nusantara menjadi panduan pembelajaran dan penghubung antarsesama muslim. Kitab-kitab ini pula yang menjadi marka identitas Islam di Nusantara.
Jajat melihat, bahwa proses penyebaran Islam di Nusantara menjadi memori kolektif bagi orang-orang Indonesia hingga saat ini. "Pengalaman ini menjadi fondasi dari pembentukan sebuah 'komunitas imajiner' di kalangan rakyat Nusantara, yang kemudian membentuk dasar nasionalisme dari negara Indonesia," tutup Jajat.
Baca Juga: Klenteng Ancol: Kisah Damai Konghucu, Buddha, Tao, dan Muslim
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR