Nationalgeographic.co.id—Rempah-rempah di Nusantara menjadi primadona yang sangat laku diperdagangkan di masa lalu. Beragam orang dari berbagai bangsa datang untuk mencari harta karun yang berharga ini.
Sembari berdagang, orang-orang ini juga membawa nilai dan kepercayaan mereka ke Nusantara. Mereka menyiarkan agama dan mengundang setiap orang untuk menganut ajarannya. Penyiaran inilah yang berperan terhadap bangkitnya berbagai kerajaan berbasis agama tertentu, termasuk di antaranya kerajaan atau kesultanan Islam.
Penyebaran Islam di Indonesia tidak lepas dari peran pedagang. Dalam perkembangannya, mereka membentuk jaringan-jaringan intelektual yang membuat Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara. Lantas, bagaimana jaringan-jaringan ini membangun peradaban Islam di Nusantara?
Pertanyaan inilah yang dibawa oleh panel bertajuk Spiritual and Intellectual Network on the Spice Route. Panel ini merupakan bagian dari Simposium Internasional Kosmopolitanisme Islam Nusantara: Jejak Spiritual dan Intelektual Nusantara di Jalur Rempah yang diadakan oleh Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) pada 30 Agustus 2021.
"Jaringan perdagangan di Nusantara merupakan faktor yang sangat penting terhadap proses Islamisasi," jelas Jajat Burhanudin dalam panel tersebut. Jajat merupakan Profesor dari Fakultas Adab dan Humaniora di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ia menjelaskan, bahwa rempah telah menjadi produk Nusantara yang sangat penting, bahkan sebelum zaman kolonial. Mereka mengundang para pedagang dari berbagai negeri yang membangun jalur dan jaringan perdagangan rempah di Nusantara, termasuk pedagang muslim. Jaringan perdagangan ini mengalami pertumbuhan pesat di abad ke-13 dan ke-14.
Baca Juga: Kisah Haru Persahabatan Dua Difabel Muslim dan Kristen dari Damaskus
Mengutip kronik Tome Pires, Jajat menjelaskan bahwa persebaran Islam dilakukan oleh pedagang Bengal dan Gujarat sebagai kontingen utama, yang diikuti pedagang Arab, Turki, dan Persia. "Mereka berkontribusi dalam membuat Nusantara menjadi bagian dari jaringan dagang antara Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara," ujar Jajat.
Dalam jaringan inilah, Islam perlahan-lahan mulai tumbuh dengan subur di kalangan rakyat Nusantara. Para pedagang Islam tidak hanya berdagang, tetapi mereka juga berdakwah dan bersosialisasi dengan rakyat setempat. Beberapa dari mereka bahkan berasimilasi dengan mengadopsi bahasa dan budaya lokal, serta menikahi perempuan Nusantara.
Seiring waktu, keberadaan pedagang-pedagang muslim ini menjadi lumrah dan sering dijumpai sehari-hari, terutama di kota-kota pelabuhan Nusantara. Jajat melihat ini sebagai tumbuhnya Islamic habitus, yakni bagaimana nilai-nilai dan kebudayaan Islam menjadi bagian dari keseharian kehidupan lokal.
Kemauan para pedagang ini untuk berasimilasi semakin memudahkan persebaran Islam di Nusantara. Salah satu contoh bagaimana jaringan perdagangan ini menyebarkan Islam terlihat dalam Hikayat Raja-raja Pasai. "Dalam mengislamkan Pasai, Syeikh Ismail dipandu oleh seorang fakir dari Ma'bari. Teks ini juga menjelaskan bagaimana peran penting fakir dalam menyebarkan Islam lebih jauh," ungkap Jajat.
Syeikh Ismail sendiri merupakan ulama dan pedagang rempah dari Makkah. Kepadanyalah Meurah Silu mengucap syahadat dan menjadi Malik al-Saleh, sultan pertama Samudera Pasai.
Tidak hanya Syeikh Ismail dan Pasai saja, keberadaan jaringan ini tersebar luas dari Aceh hingga Ternate. Sebut saja Abd al-Ra'uf al-Singkili di Kesultanan Aceh, Sheikh Ulakan di Minangkaubau, Datuk ri Bandang di Kutai, dan sejumlah bangsawan Demak di Banjar.
Baca Juga: Santri-santri Bengal Zaman Kolonial
Keberadaan jaringan perdagangan Islam dan Islamic habitus ini juga perlahan-lahan membentuk jaringan intelektual Islam. Para penyair kerajaan mengadopsi tata cara historiografi Islam yang tercermin dalam munculnya kitab-kitab Jawi, salah satunya kitab Bustan al-Salatin.
"Kitab Jawi memperkaya tradisi sastra di Asia Tenggara, mereka mendorong perkembangan bahasa Melayu serta menjadi medium ekspresi agama," tutur Jajat. Menurutnya, kitab Jawi yang tersebar di seluruh Nusantara menjadi panduan pembelajaran dan penghubung antarsesama muslim. Kitab-kitab ini pula yang menjadi marka identitas Islam di Nusantara.
Jajat melihat, bahwa proses penyebaran Islam di Nusantara menjadi memori kolektif bagi orang-orang Indonesia hingga saat ini. "Pengalaman ini menjadi fondasi dari pembentukan sebuah 'komunitas imajiner' di kalangan rakyat Nusantara, yang kemudian membentuk dasar nasionalisme dari negara Indonesia," tutup Jajat.
Baca Juga: Klenteng Ancol: Kisah Damai Konghucu, Buddha, Tao, dan Muslim
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR