Hati Temu Misti (60) dan Suparmiati (63), bukan cuma bahagia, melainkan juga bangga. Selain masih bisa menari Paju Gandrung Sewu secara kolosal di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur, mereka juga melihat anak-anak muda penerus seni gandrung.
Siapa tahu ada di antara mereka ada yang mau menekuni gandrung sebagai pilihan hidup berkesenian dan bukan sekadar ikut menari,” demikian harapan Temu dan Suparmiati, baru-baru ini.
Temu, Suparmiati, juga Supinah (55) merupakan penari gaek tari gandrung yang setia dengan budaya lokal masyarakat Banyuwangi. Mereka ikut meramaikan Paju Gandrung Sewu, di antara 1.053 pasang laki-laki dan perempuan, yang tampil di Banyuwangi Festival untuk mempromosikan Banyuwangi.
Penari yang ikut, total 2.106 orang, belum termasuk penabuh gamelan dan pesinden, terdiri atas penari gandrung berusia 9-70 tahun. Mereka berasal dari SD hingga perguruan tinggi.
Saat selendang dikembangkan 1.053 pasangan penari gandrung itu, mereka ibarat ribuan bidadari yang terbang mengepakkan sayapnya. Liukan gerakan kepala, badan, pinggul, dan gerak kaki yang lincah dan energik dipadu senyuman manis menghipnotis ribuan penonton saat menyaksikan Paju Gandrung Sewu, laki-laki yang mengiringi perempuan menari.
Alunan musik khas Banyuwangi dengan lagu ”Kembang Waru” dan ”Embat-embat” yang mengentak bercampur aroma dupa dan kemenyan terbakar menciptakan atmosfer magis yang kuat. Sorot mata dan senyuman para gandrung sungguh memesona.
Tak lama kemudian para paju (penari pria pengiring) menyerbu lapangan di Pantai Boom, Banyuwangi, Jawa Timur. Mereka seolah menjemput masing-masing bidadari dan larut dalam tarian sukacita. Kemudian, 2.106 orang penari larut dalam tarian serempak dan tak mau kalah dengan riak ombak Selat Bali, yang berlari, berkejaran. Tarian itu pun berakhir dengan membentuk formasi tulisan I ♥ BWI yang menjadi spirit masyarakat ”Aku Cinta Banyuwangi”.
Tarian kolosal yang melibatkan siswa SD, SMP, SMA, mahasiswa, dan penari gandrung profesional, bangga ikut ambil bagian di acara akbar tersebut. Sebagian siswa yang berasal dari kecamatan di pinggir Banyuwangi rela menginap di sejumlah sekolah dengan membawa bantal dan tikar sendiri.
Sebagian berdandan dan bersiap-siap sejak pukul 05.00. Hebatnya, satu sama lain saling membantu merias dan memasangkan busana tari dan "omprok" (semacam mahkota untuk penari gandrung). Kelelahan mereka terbayar saat mereka bisa menampilkan tarian yang memukau di hadapan ribuan orang.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menilai kolosalitas Paju Gandrung Sewu menunjukkan budaya lokal yang semakin digandrungi, berkembang, dan sekaligus menjadi aset wisata yang potensial untuk daerah Banyuwangi.
Tarian kolosal itu juga jadi wahana ekspresi agar generasi muda bisa turut merasakan kebanggaan dan menjaga budaya lokal warisan masa yang lalu.
Asal-usul gandrung
Gandrung berasal dari kata gandrung, yang dalam bahasa Banyuwangi berarti 'tergila-gila'. Kalau di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat ada tayub atau di Jawa Barat ada ketuk tilu, di ujung timur Pulau Jawa ada seni gandrung.
Tari gandrung dulunya merupakan wujud rasa syukur petani sehabis panen. Awalnya, gandrung hanya ditarikan laki-laki dengan dandanan perempuan. Instrumen pengiring utamanya kendang, terbang (rebana), dan biola. Namun, sejak 1890, gandrung lanang (laki-laki) mulai menghilang. Itu terkait ajaran Islam yang melarang lelaki berdandan ala perempuan. Gandrung lanang benar-benar menghilang setelah kematian penari terakhirnya, Marsan.
Menurut budayawan Banyuwangi, Hasnan Singadimayan, gandrung wadon (perempuan) pertama kali muncul tahun 1895 dan diawali dengan gandrung Semi, yang saat itu baru berusia 10 tahun. Awalnya, anak Mak Midhah itu sakit dan beragam upaya dilakukan agar sembuh. Akhirnya Mak Midhah bernazar, ”Kadung sira waras, sun dhadheaken seblang. Kadung sing ya osing" (Kalau kamu sembuh, aku jadikan seblang—penari gandrung dengan mahkota dari dedaunan. Kalau tidak sembuh, ya tidak). Konon Semi akhirnya sembuh dan dijadikan seblang untuk menghibur warga.
Hasnan menambahkan, gandrung perempuan itu juga diikuti saudara Semi yang lain dan dipentaskan dengan nama panggung gandrung. Kesenian gandrung wadon akhirnya berkembang menjadi ikon Banyuwangi.
Gandrung awalnya hanya boleh ditarikan keturunan penari gandrung. Namun, sejak 1970-an, banyak gadis mempelajari gandrung lalu menjadikannya mata pencarian hidup seperti ronggeng. Jika para penanggap seni gandrung itu sepi, para penari biasanya beralih lagi menjadi buruh tani.
Hadapi persaingan
Temu sendiri mulai belajar tari gandrung sejak tahun 1969 saat berusia 15 tahun. Saat ini, tambah Temu, gandrung menghadapi persaingan dengan elekton dan jenis musik lainnya. ”Sekarang ini susah mencari anak muda yang bisa olah vokal dengan cengkok gandrung. Kalau mencari penari gandrung, cukup banyak,” keluhnya.
Hal yang sama diungkapkan Suparmiati, yang mulai menekuni tari gandrung sejak tahun 1980-an. ”Sekarang ini sulit mencari gandrung profesional karena harus bisa menyanyi dan menari,” ujar warga Boyolangu, Kecamatan Giri, yang sering mendapat panggilan menari di hajatan warga Using (sebutan bagi suku asli Banyuwangi), ini.
Tampil semalam suntuk, tarif penari gandrung terbilang cukup lumayan, yaitu Rp 3,5 juta-Rp 6 juta. Dari tarif itu, seorang gandrung biasanya dapat bagian 10 persen. Sementara 90 persen lainnya dibagi untuk kas kelompok seni gandrung dan pemain musik pengiring. ”Paling tidak, seorang gandrung bisa dapat Rp 250.000-Rp 300.000 sekali pentas. Padahal, kami ini harus menjaga suara agar tetap bagus dengan minum jamu, terutama popoh (gurah),” lanjut Suparmiati.
Celakanya, seorang gandrung yang harus menjaga penampilan kerap dituding negatif. Namun, menurut Supinah, hal itu tergantung masing-masing dan sikap gandrung membawa diri.
Menurut dia, kalau tidak bisa membawa diri, gandrung bisa dicap negatif dan gampangan. Padahal, menjadi seorang gandrung bukan perkara gampang. Selain belajar, tekun berlatih, juga ada semacam ritual tertentu yang harus dijalani, termasuk berpuasa. Oleh karena itu, tak banyak anak-anak muda sekarang yang mau menerjuninya.
Di antara yang langka dan mau berkiprah di gandrung, di antaranya Sarita Dicha Putri (17) dan Umi Nur Kholifah (19). Sejak duduk di kelas I madrasah tsanawiyah, Sarita mulai banyak ditanggap. Ia tergabung dalam kelompok Seni Gandrung Sekartayup, Bulusari, Kecamatan Kalipura. ”Mau melanjutkan sekolah tak ada biaya. Sekarang lumayan. Dari gandrung bisa bantu orangtua,” ujarnya. Sekali pentas, ia dapat Rp 125.000.
Sementara Umi sudah dua tahun ini menjadi gandrung profesional. Neneknya, Siti, dan ibunya, Sapti, juga penari gandrung. Sekali pentas, ia mengantongi uang Rp 250.000.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR