Tari gandrung dulunya merupakan wujud rasa syukur petani sehabis panen. Awalnya, gandrung hanya ditarikan laki-laki dengan dandanan perempuan. Instrumen pengiring utamanya kendang, terbang (rebana), dan biola. Namun, sejak 1890, gandrung lanang (laki-laki) mulai menghilang. Itu terkait ajaran Islam yang melarang lelaki berdandan ala perempuan. Gandrung lanang benar-benar menghilang setelah kematian penari terakhirnya, Marsan.
Menurut budayawan Banyuwangi, Hasnan Singadimayan, gandrung wadon (perempuan) pertama kali muncul tahun 1895 dan diawali dengan gandrung Semi, yang saat itu baru berusia 10 tahun. Awalnya, anak Mak Midhah itu sakit dan beragam upaya dilakukan agar sembuh. Akhirnya Mak Midhah bernazar, ”Kadung sira waras, sun dhadheaken seblang. Kadung sing ya osing" (Kalau kamu sembuh, aku jadikan seblang—penari gandrung dengan mahkota dari dedaunan. Kalau tidak sembuh, ya tidak). Konon Semi akhirnya sembuh dan dijadikan seblang untuk menghibur warga.
Hasnan menambahkan, gandrung perempuan itu juga diikuti saudara Semi yang lain dan dipentaskan dengan nama panggung gandrung. Kesenian gandrung wadon akhirnya berkembang menjadi ikon Banyuwangi.
Gandrung awalnya hanya boleh ditarikan keturunan penari gandrung. Namun, sejak 1970-an, banyak gadis mempelajari gandrung lalu menjadikannya mata pencarian hidup seperti ronggeng. Jika para penanggap seni gandrung itu sepi, para penari biasanya beralih lagi menjadi buruh tani.
Hadapi persaingan
Temu sendiri mulai belajar tari gandrung sejak tahun 1969 saat berusia 15 tahun. Saat ini, tambah Temu, gandrung menghadapi persaingan dengan elekton dan jenis musik lainnya. ”Sekarang ini susah mencari anak muda yang bisa olah vokal dengan cengkok gandrung. Kalau mencari penari gandrung, cukup banyak,” keluhnya.
Hal yang sama diungkapkan Suparmiati, yang mulai menekuni tari gandrung sejak tahun 1980-an. ”Sekarang ini sulit mencari gandrung profesional karena harus bisa menyanyi dan menari,” ujar warga Boyolangu, Kecamatan Giri, yang sering mendapat panggilan menari di hajatan warga Using (sebutan bagi suku asli Banyuwangi), ini.
Tampil semalam suntuk, tarif penari gandrung terbilang cukup lumayan, yaitu Rp 3,5 juta-Rp 6 juta. Dari tarif itu, seorang gandrung biasanya dapat bagian 10 persen. Sementara 90 persen lainnya dibagi untuk kas kelompok seni gandrung dan pemain musik pengiring. ”Paling tidak, seorang gandrung bisa dapat Rp 250.000-Rp 300.000 sekali pentas. Padahal, kami ini harus menjaga suara agar tetap bagus dengan minum jamu, terutama popoh (gurah),” lanjut Suparmiati.
Celakanya, seorang gandrung yang harus menjaga penampilan kerap dituding negatif. Namun, menurut Supinah, hal itu tergantung masing-masing dan sikap gandrung membawa diri.
Menurut dia, kalau tidak bisa membawa diri, gandrung bisa dicap negatif dan gampangan. Padahal, menjadi seorang gandrung bukan perkara gampang. Selain belajar, tekun berlatih, juga ada semacam ritual tertentu yang harus dijalani, termasuk berpuasa. Oleh karena itu, tak banyak anak-anak muda sekarang yang mau menerjuninya.
Di antara yang langka dan mau berkiprah di gandrung, di antaranya Sarita Dicha Putri (17) dan Umi Nur Kholifah (19). Sejak duduk di kelas I madrasah tsanawiyah, Sarita mulai banyak ditanggap. Ia tergabung dalam kelompok Seni Gandrung Sekartayup, Bulusari, Kecamatan Kalipura. ”Mau melanjutkan sekolah tak ada biaya. Sekarang lumayan. Dari gandrung bisa bantu orangtua,” ujarnya. Sekali pentas, ia dapat Rp 125.000.
Sementara Umi sudah dua tahun ini menjadi gandrung profesional. Neneknya, Siti, dan ibunya, Sapti, juga penari gandrung. Sekali pentas, ia mengantongi uang Rp 250.000.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR