Nationalgeographic.co.id—Sebuah foto hitam putih yang diambil sekitar tahun 1889, tersimpan rapi. Agaknya terdapat kisah menarik dibalik foto tersebut. Terlihat seorang yang berdiri dengan mata terpejam, menggendong seseorang dipunggungnya. Foto ini mengisahkan tentang dua orang bernama Muhammad dan Samir.
Muhammad dan Samir tinggal di Damaskus, Suriah. Mereka adalah dua sahabat yang senantiasa bersama dalam kehidupan sehari-harinya. Muhammad adalah seorang yang buta, pada foto dengan mata terpejam sambil membawa tongkat. Ia berdiri sembari menggendong Samir yang tidak dapat berjalan dengan kedua kakinya, Samir nampak mengalami lumpuh dan mengidap dwarfisme.
Ya, kisah ini menjadikan Muhammad sebagai kaki yang dapat membuat Samir berjalan dan menjelajah. Sebaliknya, Samir sebagai mata bagi Muhammad untuk dapat melihat dunia. Disebutkan dalam tulisan Matt Williams yang berjudul 127-Year-Old Photo Shows What Peace Can Look Like in Syria pada tahun 2016, menjelaskan bahwa mereka berdua yatim piatu.
"Mereka tak memiliki keluarga dan kekasih, membuatnya selalu bersama, dan sepenuhnya bergantung satu sama lain" tulisnya. Menariknya, mereka berdua adalah seorang yang agamis, namun memiliki keyakinan yang berbeda. "Samir adalah orang Kristen, sedangkan Muhammad adalah Muslim" tambahnya.
Mereka tinggal di dalam satu kamar yang sama, Keduanya juga bekerja di sebuah kedai kopi. Mereka saling menopang dan menjalani kehidupan bersama, meski secara prinsip dan kepercayaan, mereka berpegang teguh dengan kepercayaan mereka masing-masing.
"Perbedaan ini sangat terlihat karena ketaatan mereka pada agamanya masing-masing, tetapi itu tidak menghalangi Samir dan Muhammad untuk menjadi sahabat setia dan selalu bekerja sama" tulis Williams.
Baca Juga: Tugu Peringatan Perang Berusia 4.000 Tahun Teridentifikasi di Suriah
Mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar, yaitu untuk mendapatkan satu tujuan yang sama, mencapai kehidupan sebagaimana orang lain dengan saling melengkapi satu sama lain.
"Uniknya persahabatan mereka, berada ditengah gejolak saling singgungnya antar umat beragama di Syria (Suriah)" tambahnya. Saat itu (abad ke-19), di negara-negara Arab sedang banyak terjadi resistensi bahkan konfrontasi berlatar belakang ras, etnik, budaya, hingga keagamaan.
Kristen dan Islam yang sedang berseteru, Arab dan Kurdi yang sedang terlibat konflik, Syiah dan Sunni yang tercerai berai, hingga Israel dan Palestina yang saling berperang. Berbagai konflik di tanah Arab saat itu, tak sedikitpun memengaruhi persahabatan mereka. Sampai pada akhirnya, mereka harus berpisah.
Baca Juga: Kisah Dua Pengantin Anak Suriah yang Menikah di Usia 14 Tahun
"Muhammad memanggil Samir, namun tak ada sahutan darinya" tulis Williams. Muhammad mengetahui, saat itu sahabatnya telah lebih dulu meninggalkannya. Mereka dikaruniai umur yang panjang, sebegitu lamanya mereka saling menopang, bekerja sama satu sama lain.
Lebih dari kehilangan matanya, Muhammad telah kehilangan seseorang yang paling ia kasihi dihidupnya. Samir telah menjadi setengah hidupnya. Selepas kejadian itu, Muhammad murung, ia menangis selama seminggu dikamarnya, tak ingin meninggalkan Samir dalam kesendirian.
Seminggu berselang, kesedihan yang teramat, merenggut jiwanya. Muhammad wafat disamping jasad Samir. Muhammad dan Samir adalah kisah persahabatan yang kekal, sehidup semati. Saling mengasihi dan memberi kedamaian, merupakan hal yang mereka jalani setiap hari.
Baca Juga: Hashshashin, Pembunuh Terampil Sekte Muslim Rahasia Persia dan Suriah
"Jika kita tidak memiliki kedamaian, itu karena kita lupa bahwa kita adalah milik satu sama lain", salah satu kata mutiara dari Bunda Teresa. Begitu juga dalam perspektif Islam, Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya, "Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya".
Mari kita belajar dari kisah Samir dan Muhammad dalam menciptakan harmoni dan kedamaian ditengah perbedaan. Lebih jauh lagi, mereka telah mengenalkan kepada kita tentang rasa saling menyayangi dan saling melengkapi satu sama lain.
Baca Juga: Zenobia, Ratu Pemberontak di Suriah yang Menantang Kekaisaran Romawi
Source | : | Preemptive Love,Library of Congress |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR