Nationalgeographic.co.id — Beragam ponsel cerdas diluncurkan, seiring dengan lensa kameranya yang semakin berkembang. Jauh sebelum era modern, Ibnu Haytham telah merumuskan suatu temuan yang kemudian berpengaruh bagi perkembangan sains modern.
Sejarah telah membuktikan betapa dunia Islam telah melahirkan banyak sarjana dan ilmuwan yang sangat hebat dalam bidang falsafah, sains, politik, kesusasteraan, kemasyarakatan, agama, pengobatan, dan sebagainya. Salah satunya adalah Ibnu Haytham. Abu Ali Muhammad al-Hasan bin al-Haitsam atau yang dikenal Ibnu Haytham atau Alhazen, lahir di Bashrah, Irak pada 965.
Zahîr Al-Din Al-Bayhaqî dalam karyanya berjudul Tatimmah Siwān Al-Hikmah, terbit pada tahun 2005, menggambarkan tentang figurnya yang sangat sederhana dan muslim yang taat (wara'), serta ia yang sangat haus akan ilmu pengetahuan. "Ia adalah sosok yang wara', tidak memandang kepemilikan terhadap benda dan sangat mencintai ilmu" tulisnya.
Ibnu Haytham yang dibesarkan di Basrah, Irak, menuju dewasa dalam menggeluti ilmu pengetahuan dan sains, ia mengembara hingga ke ibukota Irak, Baghdad. "Demi memuaskan hasrat keilmuannya, ia merantau ke baghdad dan turut dalam beragam perdebatan sains, mulai dari Matematika hingga Geometri" tulisnya.
Keberadaan perpustakaan terbesar di Irak saat itu, Bayt al-Hikmah yang berada di Baghdad, diduga kuat menjadi alasannya untuk merantau keluar Basrah. "Disana, ia dapat mewujudkan keinginannya untuk melahap buku-buku pemikiran filsafat dan sains para ahli Yunani" tambahnya.
Berdasarkan perantauan intelektualnya, Ibnu Haytham mulai dikenal setelah berhasil menulis beberapa karya. Ia menulis karya yang merupakan hasil kajiannya terhadap sains dan filsafat Yunani seperti Talkhīṣ Madkhal Furfūriyūs wa kutub Arisṭūṭālīs al-Arbaʿah al-Manṭiqiyyah, Taʿlīq ʿAlaqahū Isḥāq ibn Yūnus al-Muṭabbib bi Miṣr ʿan Ibn al-Haytham fī Kitāb Diyūfanṭūs fī Masāʾil al-Jabr, serta Kitāb Jamaʿtu fīhī al-Uṣūl al-Handasiyah min Kitāb Iqlidīs wa Ablūniyūs.
Ibnu Haytham diakui para ilmuwan barat tentang keilmuan yang dimilikinya. Para ilmuwan kemudian menjulukinya Alhazen. George Sarton pada 1931 dalam tulisannya yang dimuat pada JSTOR, berjudul Introduction to The History of Science, menuliskan bahwa Haytham merupakan fisikawan yang paling besar sepanjang masa.
"Ia adalah pencetus metodologi penelitian saintifik. Hasil buah pemikirannya kemudian diadopsi oleh ilmuwan barat dan menjadi landasan bagi perkembangan riset modern" tulisnya. Secara sederhana, kebanyakan produk penelitian, lahir dari tahapan-tahapan metodologis, yang sejatinya sudah dikembangkan dalam pikirannya.
Setelah berhasil merancang tahapan metodologis penelitian saintifik, ia juga dikenal sebagai ahli dalam penelitian tentang cahaya. "Ia mampu mengembangkan keahliannya dalam kajian ilmu optika, yang melandasi beragam teknologi visual modern" tambahnya. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya.Baca Juga: Praktik Peternakan Domba Arab Kuno Terungkap Berkat Mumi Domba
"Menurutnya, retina adalah pusat penglihatan dan benda dapat terlihat karena memantulkan cahaya ke mata" tulis Sarton. Hal tersebut lantas menginspirasi para ilmuwan barat sehingga terciptanya teknologi modern, seperti halnya kamera dan beragam media yang memunculkan bentuk visual.
"Johan Zahn mampu menciptakan kamera yang dapat menangkap bentuk visual, dari cahaya yang dipantulkan objek, jatuh ke lensa kamera" tambahnya. Itu merupakan teori yang sudah dipraktikan oleh Haytham beberapa abad silam.
"Yang lebih menakjubkan adalah penemuannya tentang prinsip isi padu udara sebelum ilmuwan yang bernama Trricella yang mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian, serta temuannya tentang teori kewujudan tarikan gravitasi sebelum Issaac Newton mengetahuinya" tulis Sarton. "Alhazen adalah keajaiban bagi dunia sains yang pernah ada sepanjang sejarah" Sarton menutup tulisannya.
Ibnu Haytham yang menginspirasi dunia keilmuan barat, wafat di Qahirah tahun 1039 pada umur 74 tahun. Meski dunia telah kehilangan jasadnya, pemikirannya masih terus bertahan, bahkan berkembang dari masa ke masa.
Baca Juga: Kota Berusia 4.000 Tahun dari Era Babilonia Kuno Ditemukan di Irak
Source | : | JSTOR |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR