“Saya sudah lelah diwawancarai, menjawab pertanyaan yang itu-itu saja. Oh, mau ikut masuk rimba? Bagus! Sedikit bertanya, banyak melihat!” Begitulah awal perkenalan saya dengan Saur Marlina “Butet” Manurung, guru pendidikan alternatif bagi Orang Rimba, yang dulu dikenal sebagai suku Anak Dalam atau Kubu di Taman Nasional Bukit 12 dan Bukit 30, Jambi. Empat hari tiga malam, 25-28 Maret 2004, mengikuti Butet ke Bukit 12, saya sadar mengapa ia jatuh cinta pada Orang Rimba. Anak-anak itu memang memiliki semua yang diimpikan guru. Cerdas dan tetap semangat!
Tegas, siap membantu, terencana tapi lentur untuk perubahan karena keadaan diperlihatkan Butet Manurung sejak awal. Per e-mail, ia berikan daftar terinci dan biaya transportasi, penginapan, perlengkapan hidup di hutan dan bahan kontak (oleh-oleh untuk membuat kita “dekat” dengan Orang Rimba, berupa sarung, rokok, permen, biskuit, gula, kopi, teh, alat tulis-menulis).
Saya menemui lagi Butet di Jambi, selang dua minggu dari penobatannya sebagai Women of the Year 2004 bidang pendidikan dari ANteve. “Aku main dulu dengan teman-teman di Jakarta, lalu ke Yogya mengurus persiapan pembentukan Sokola, Komunitas Pendidikan Alternatif bagi Masyarakat di Hutan Indonesia dengan modul yang bisa dipakai oleh semua suku asli. Aku juga sudah rindu murid-muridku, mereka menelepon, kapan aku pulang. Biasanya kan aku tiga minggu di rimba, dan hanya seminggu ke Bangko atau Jambi lalu balik ke rimba,” tuturnya. Hampir dua bulan sebelumnya, ia jadi penerjemah lalu-lintas radio di kapal Rainbow Warrior milik Green Peace, lembaga swadaya masyarakat lingkungan internasional saat merapat di Indonesia.
Kami terpaksa menginap dua malam di Bangko, kota kecil terdekat, 60 kilometer dari rimba Bukit Duabelas, enam jam perjalanan travel dari Jambi, karena sulit mendapat jeep 4x4 sewaan. “Aku sendiri sih sudah biasa ngeteng naik angkot, ojek motor sampai desa Satuan Pemukiman Transmigrasi G (SPG), lalu jalan kaki 3—4 jam ke tepi rimba sambil bawa empat ransel,” katanya, yang tentu terlalu berat bagi saya yang membawa banyak perlengkapan, termasuk tiga kamera, “Di rimba, bisa lebih tak pasti lagi. Kita bisa bertemu Orang Rimba dari jalan kaki 15 menit sampai dua hari. Maklum, mereka kan semi nomaden, sering berpindah.”
Ini bukan apa-apa dibandingkan tantangan Butet di masa perintisan. Medio 1999, saat jenuh menjadi pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon, sebuah iklan di harian Kompas dari LSM Warung Informasi Konservasi (Warsi) menyentilnya. Dicari: fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi. Mungkin inilah yang kucari, batin pemegang dua gelar kesarjanaan – Sastra Indonesia dan Antropologi – dari Universitas Padjajaran Bandung ini.
“Aku menganggap keterlibatanku sebagai relawan, bukan pekerjaan,” kenang Butet, “Gajiku toh tak seberapa, dan tak apa-apa kalau tak digaji. Niatku hanyalah, bisa berguna bagi orang lain, mengamalkan ilmuku, minatku pada alam dan kecintaanku pada anak-anak.”
Padahal, tantangan begitu berat. Sebelum Butet, dua fasilitator pertama mengundurkan diri dan yang ketiga, Yusack Adrian Hutapea, sebenarnya sudah mulai diterima Orang Rimba, sedihnya, ia meninggal karena malaria.
“Aku pun terjangkit malaria sampai kini, sebulan sekali kambuh, dan berat badanku turun tujuh kilo.”
Tujuh bulan pertama dipakai Butet untuk meriset pola pengasuhan anak, hubungan orangtua—anak dan antaranak, pola marah orangtua atau anak, sistem pengetahuan lokal, yang sambil berjalan ingin pula menerapkan proses belajar yang khas dan khusus diciptakan dan disesuaikan untuk Orang Rimba.
Di tiga hari berikut, kami singgah di dua tempat, berjalan 30 menit dari tempat pertama, dan 1,5 jam dari tempat kedua, selalu di tepi sungai,
mendirikan tenda, menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam sambil belajar-mengajar. Waktu memang sangat lentur karena intinya belajar sambil bermain dan bekerja. Di malam pertama, Mendaway dan Ngetepi tak ikut belajar karena akan nyuluh (berburu) kancil dulu. Sementara Priso (5 tahun), pukul 05.00 pagi sudah menunggu dengan buku tulis dan pensil ketika gurunya bahkan belum bangun.
“Ruang” belajar adalah selembar perlak, yang sebagian dipenuhi ransel, beratap perlak disangga ranting di rindang pepohonan. Semua dari alam sekitar. Gentar, misalnya, dulu bikin kapur tulis dari tanah lempung dan memanfaatkan balok kayu yang ditinggalkan penebang liar. “Dia juga guru bagiku,” kata Butet.
Anak yang baru belajar baca-tulis-hitung maupun yang sudah mahir, belajar bareng. Kalau sedang mengenalkan huruf pada si kecil, kakak-kakaknya akan diberi tugas hitungan sulit, misalnya 1.247.580 kali 396. Mereka mengomel, tapi dikerjakan juga.
Karena tak punya tradisi baca tulis, daya ingat Orang Rimba sangat hebat. Ada yang dalam setengah jam bisa menghafal huruf A—Z. Butet Manurung menerapkan cara belajar yang berbeda, mengenalkan huruf per huruf berdasarkan bentuk dan cara mengejanya. Misalnya A seperti atap, C seperti pegangan periuk, ucapkan M dengan mulut dikatupkan. Huruf dirangkai dalam 14 kelompok “perkawinan.” Butet menargetkan 6 bulan pelajaran dasar belajar bagi tiap kelompok hingga bisa menjangkau sekitar 9 dari 14 kelompok di Bukit 12 dan baru 2 dari 10 kelompok di Bukit 30 yang sudah bersedia belajar baca tulis. Untuk metodenya ini, Butet dianugrahi The Man and Biosphere Award 2001 dari LIPI-Unesco.
Kini, Orang Rimba tak lagi mudah ditipu. Butet pun tersenyum lega.
Dari Anak Papi ke Pribadi Mandiri
Saur Marlina “Butet” Manurung, sulung dari empat bersaudara kelahiran 21 Februari 1972, awalnya adalah “anak papi”. Ayahnya, Victor Manurung, begitu menjaga putri tunggalnya. Melewati masa kecil di Belanda, ke mana pun Butet pergi, selalu diantar. Biarpun dimanja, Butet dididik mencintai alam dan tak mementingkan diri sendiri. Bila menemukan kucing terlantar, misalnya, Butet akan membawa pulang dan merawat.
Kematian sang ayah saat ia menginjak kelas 3 SMA mengubahnya jadi pemurung. Teman-temannya di kelompok pencinta alam SMA, membujuknya naik gunung. Berhasil merayu ibunya, ditemani adiknya, Butet pun mendaki Gunung Ciremai di Kuningan, Jawa Barat. “Dalam lelah dan dingin, saya tertidur dan bertemu Papa dalam mimpi.” Olahraga petualangan lain macam arung jeram, penelusuran gua, panjat tebing pun ia lakoni, ia biayai dari uang memberi les organ.
Butet berkawan dengan ibunya, Anar Tiur Samosir, lulusan Sastra Belanda yang menjadi pendidik, dan kemudian sama-sama mengambil kuliah antropologi. Skripsinya tentang Suku Dawan di perbukitan Timor Barat, dan sempat berniat mengabdikan diri untuk suku asli di Papua.
“Seorang antropolog tak hanya mengunjungi pemukiman suku asli dan membuat laporan, tapi juga harus berhubungan baik dengan suku yang ia teliti, termasuk menjadi penengah masalah, bila perlu,” katanya mengutip Heri Yogaswara, peneliti LIPI dan kakak kelasnya di Jurusan Antropologi UNPAD yang menguatkan pilihan hidupnya dengan Orang Rimba.
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR