Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) terus berupaya menambah varietas padi unggul melalui teknologi nuklir setelah Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi kelompok pemuliaan tanaman mengantongi 20 sertifikat varietas padi.
Puluhan varietas tersebut diklaim punya umur produksi lebih singkat, kuantitas panen tinggi, dan tak mudah rontok oleh serangan hama.
"Di tengah kondisi Indonesia yang sedang dilanda banyak bencana, teknologi nuklir menjanjikan hasil yang baik untuk mengatasi persoalan gagal panen padi," kata Sofrizal, Peneliti Kepala pada Kelompok Pemiliaan Tanaman untuk padi di BATAN.
Ia mencontohkan varietas Si Denok dan Mugibat, yang diklaim mampu menghasilkan hingga sembilan ton per hektar, kini banyak diburu petani.
Apalagi setelah muncul sejumlah laporan bahwa varietas ini mampu bertahan saat satu daerah diserbu wabah penyakit.
Hama seperti wereng dan sundep adalah momok klasik petani terutama setelah lewatnya musim hujan.
Padi yang selamat dari terjangan air, belum tentu bertahan dari serbuan hewan perusak bulir padi muda itu.
"Banyak permintaan benih untuk Si Denok ini. Apalagi setelah muncul juga laporan rasanya sangat enak," tambah Sofrizal.
Beda dengan GMO
Di fasilitas rumah kaca milik BATAN di Pasar Jumat, Jakarta Selatan, peneliti Ita Mahyani tengah mendalami upaya memuliakan padi Barak Cendana.
"Berasnya merah, tanamannya tinggi, umurnya 190 hari," kata Ita yang sudah puluhan tahun terlibat dalam penelitian ini.
Barak Cendana dipilih karena sangat digemari di Tabanan, Bali tetapi posturnya yang mencapai dua meter ditambah umur tanamnya yang lebih dari enam bulan membuat petani enggan menanam.
Di tangan peneliti seperti Ita dan kawan-kawan, beberapa batang Barak Cendana generasi awal yang sudah dimuliakan nampak mulai tumbuh lebih pendek, dengan umur panen yang menurutnya sudah turun menjadi 120 hari.
"Masih dalam umurnya, tentu kita maunya lebih genjah (cepat panen), batangnya pendek juga tahan hama, kita masih terus teliti."
Ita dan kawan-kawan boleh berbangga karena dari 20 varietas yang dikembangkan seluruhnya telah ditanam di berbagai lokasi di Indonesia.
Atau setidaknya, itu yang diklaim Sofrizal.
Ia mengakui banyak petani yang masih alergi mendengar istilah 'padi nuklir' meski BATAN menjamin keamanan produk pertanian hasil penelitiannya.
"Yang kita lakukan adalah memanfaatkan iradiasi untuk pemuliaan tanaman. Itu hanya pada generasi pertama.
"Sedangkan pengembangan ini dilakukan selama belasan bahkan puluhan generasi, sehingga sisa radiasinya itu sudah sama sekali tak ada," seru Sofrizal.
Menurut peneliti asli Sumatera ini kebanyakan orang masih mencampuradukkan pengertian teknik iradiasi dengan rekayasa genetika (GMO) untuk bibit transgenik.
"Itu sama sekali berbeda," tegas Sofrizal.
Selain untuk padi, teknologi nuklir juga dikembangkan untuk kedelai, kapas, sorgum, dan sejumlah tanaman lain termasuk buah dan palawija.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR