Membawa masyarakat keluar dari ranah pemikiran tradisional tak akan pernah gampang. Selama ribuan tahun, masyarakat Jawa yang dikepung gunung api meyakini bahwa letusan gunung bukan sekadar peristiwa alam biasa. Berkah atau sebaliknya bencana yang ditimbulkan letusan gunung tergantung bagaimana manusia bernegosiasi dengan penguasa gunung. Karena itu, hampir di semua gunung di Jawa, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, terdapat bangunan-bangunan suci yang digunakan sebagai sarana pemujaan.
Denys Lombard dalam Nusa Jawa; Silang Budaya (1996) menyebutkan, orang-orang Jawa telah memuja gunung api sejak sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha dari India. "Orang-orang Jawa Kuno menyembah gunung-gunung berapi tertentu, seperti orang Bali dewasa ini memuja Gunung Agung dan penduduk Tengger (Jawa Timur) memuja kawah Gunung Bromo," tulis Lombard.
Konsep ini, menurut Lombard, telah ada sebelum muncul konsep Gunung Meru di Jawa. Gunung Meru merupakan konsep tentang gunung suci pusat jagat raya dicangkok dari India, sekitar abad ke-10, sedangkan proses pemujaan terhadap gunung di Jawa diduga telah berlangsung jauh sebelum itu. Seperti tersebut dalam kitab Tantu Panggelaran, Gunung Meru di India dipindahkan ke Jawa oleh para dewa.
Jejak bangunan megalitik dan punden berundak yang tersebar di sejumlah gunung di Jawa menguatkan dugaan, proses pemujaan gunung telah berlangsung di Jawa sejak zaman prasejarah. Soepomo dalam Lord of The Mountains in the Fourteenth Century Kakawin (1972) menyebutkan, dewa yang dipuja masyarakat Jawa Kuno bukanlah dewa-dewa India, melainkan roh nenek moyang yang telah didewakan dan menjadi penguasa gunung.
Dalam kakawin Negarakertagama disebutkan, Raja Majapahit Hayam Wuruk rutin setiap bulan keempat datang ke Candi Penataran atau Candi Palah untuk memuja Hyang Acalapati. Menurut Soepomo, Hyang Acalapati merupakan "Dewa Gunung" yang hanya ada di Jawa, berbeda dengan konsep dewa India yang menyebutkan Siwa sebagai penguasa gunung. Dewa Acalapati juga disebut Parwataraja dalam kakawin Arjunawiwaha, Parwatandtha dalam Negarakertagama, Girindtha dalam Sutasoma.
Malam itu di Candi Penataran, arkeolog dari Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, menunjukkan bukti-bukti bahwa Sang Hyang Acalapati tidak mungkin digunakan untuk menyebut dewa-dewa India seperti Brahma, Wisnu, maupun Siwa. "Arca ketiganya sudah ditempatkan di bagian candi yang lain. Dengan begitu, Sang Hyang Acalapati kemungkinan adalah dewa lokal yang diberi posisi tertinggi di Candi Penataran."
Dewa lokal ini juga bersemayam di Kelud. Maka, Candi Penataran digunakan untuk memuja Dewa Penguasa Kelud sehingga dia tidak murka dan mengeluarkan apinya.
Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Agus Arismunandar juga berpendapat, orang Jawa Kuno punya konsep "penguasa gunung" yang tak ada di khazanah India. "Sang Hyang Acalapati ini adalah 'dewa nasional', konsepnya berbeda dengan Siwa yang ada di India," katanya.
Menurut Agus, yang dipuja Hayam Wuruk saat di Palah itu tak lain adalah Rdjaparwata yang merupakan nama lain Hyang Acalapati. Penciptaan dewa lokal yang berbeda dengan dewa di India ini menarik dan mirip penciptaan kisah Panji yang menciptakan tokoh "Pahlawan Nasional" bagi orang Jawa dalam masa Majapahit akhir. Panji dipuja sebagai tokoh yang dekat dengan para dewa. Dia bahkan dianggap sebagai mediator untuk memuja dewa karena ia sangat tepat menggambarkan lakon Rajapanvata yang akan dipersembahkan bagi dewa di Palah, yang sebenarnya Dewa Nasional.
Di Gunung Penanggungan kerap dijumpai relief cerita Panji ini. Relief di bangunan candi-candi di Penanggungan jelas dibangun untuk memuja Gunung Penanggungan. Hal ini tidak mengherankan karena, menurut Agus, Gunung Penanggungan merupakan puncak Mahameru di India yang sudah diboyong ke Jawa.
Dengan kepercayaan bahwa gunung menjadi tempat bersemayam para dewa, masyarakat pada masa lalu, menurut Dwi Cahyono, cenderung mengandalkan mitigasi religius-magis untuk menangkal letusan gunung api.
Upaya itu terlihat dari pembangunan Candi Penataran di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, sekitar 12 kilometer utara Kota Blitar. Candi ini dibuat pada masa Kerajaan Kediri sebagai tempat pemujaan yang diduga untuk meredam amarah Kelud. Pada masa Majapahit, candi ini juga digunakan untuk tujuan yang sama.
Relief di tingkat kedua Candi Penataran, misalnya, merupakan gambaran api yang berkobar-kobar. Di situ diceritakan bahwa Kresna dikejar seorang raksasa bernama Kalayawana. Dalam pelariannya, Kresna melewati lokasi meditasi seorang brahmana bernama Wiswamitra. Kalayawana yang mengejar Kresna rupanya tak melihat keberadaan Wismamitra sehingga menginjak tubuh brahmana yang tengah bermeditasi itu. Diusik meditasinya, Wiswamitra murka. Dalam kemurkaannya ia mengeluarkan kutukan berupa api berkobar-kobar yang membakar tubuh Kalayawana dan para pengikutnya.
Pemilihan relief Kresna ini, lanjut Dwi, kemungkinan besar dilakukan untuk menunjukkan gambaran tentang dahsyatnya api yang keluar dari Gunung Kelud. Namun, pemilihan relief Kresna itu bisa jadi juga menunjukkan sikap masyarakat waktu itu dalam memandang murka Kelud, yang tidak melulu negatif.
Karena membakar tubuh raksasa yang jahat, api Kelud dimaknai sebagai api yang membersihkan dunia dari petaka. Dalam bahasa Jawa, Kelud juga berarti sapu atau alat untuk membersihkan kotoran. Dengan begitu, murka Kelud tidak melulu dipandang sebagai sebuah bencana yang menyengsarakan.
Prasasti Palah juga menunjukkan jejak pemujaan terhadap gunung sejak zaman Kerajaan Kediri. Dalam prasasti berangka tahun 1119 Saka (1197 Masehi) yang dikeluarkan Raja Kediri terakhir, yakni Kertajaya, disebutkan bahwa raja menetapkan Desa Palah sebagai desa perdikan dan dibebaskan membayar pajak sebagai ganti dari tugas memelihara bangunan suci di Palah untuk pemujaan kepada batara.
Jika dilihat dari struktur bangunan induk, saat ini bangunan yang tersisa bertingkat tiga. Di tingkat pertama terdapat relief cerita Ramayana. Di tingkat kedua terdapat relief Kresna dan di tingkat ketiga terdapat relief binatang yang hidup di dunia peralihan. Adapun di bagian puncak, tidak ada bangunan apa pun kecuali lantai batu.
Akan tetapi, sejarah juga menunjukkan candi ini tidak luput dari letusan Kelud. Sebab, saat ditemukan tahun 1815, tubuh candi ini tertutup pasir muntahan Kelud. Dwi menduga material yang menutup Kelud berasal dari beberapa kali periode letusan.
"Jejak bangunan megalitik dan punden berundak yang tersebar di sejumlah gunung di Jawa menguatkan dugaan, proses pemujaan gunung telah berlangsung di Jawa sejak zaman prasejarah."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR