Nusakambangan ditetapkan sebagai pulau penjara oleh Hindia Belanda melalui Ordonasi Staatblad Nomor 25 Tanggal 10 Agustus 1912. Kewenangan pulau itu diserahkan kepada Departemen Van Justitie (Departemen Kehakiman), yang sekarang menjadi Kemenkumham.
Ada delapan penjara di Nusakambangan, yakni Nirbaya dan Karanganyar (1912), Batu dan Gliger (1925), Besi (1927), Permisan (1928), Karang Tengah dan Limus Buntu (1935), LP Kembangkuning (1950), Pasir Putih dan Terbuka (2007), serta LP Narkotika (2008). Sebagian besar penjara yang dibangun pada era Hindia Belanda tak difungsikan lagi, kecuali LP Permisan, Batu, dan Besi.
Sisa kejayaan benteng Belanda di Nusakambangan masih bisa disaksikan. Salah satunya Benteng Karang Bolong di Nusakambangan timur. Setelah menyeberang dengan perahu nelayan dari Teluk Penyu, butuh sekitar 30 menit jalan kaki melintasi area hutan hingga sampai di benteng ini. Sekilas benteng itu tinggal puing-puing yang sudah ditumbuhi semak belukar dengan belitan akar pohon di dindingnya. "Mengingatkan pada bangunan Angkor Wat di Kamboja," kata Evgenia (30), wisatawan asal Selandia Baru.
Strategis
Heri Prayitno (56), pemandu wisata di Nusakambangan, mengatakan, benteng seluas 6.000 meter persegi itu didirikan enam lantai di bawah tanah. Benteng ini strategis karena dari bagian atas bisa melihat laut lepas sekaligus mengawasi jalur masuk ke pelabuhan. Benteng juga terhubung terowongan dalam laut dengan Benteng Pendem di Semenanjung Cilacap.
Walau potensinya tak terawat sepenuhnya, Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng Hermawan Yunianto menegaskan, saat ini Nusakambangan masih menjadi pulau tertutup dan hanya difungsikan sebagai penjara.
Namun, Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamudji berpandangan, pengelolaan wisata dan pengamanan penjara dapat dijalankan beriring tanpa saling mengganggu. Potensi Nusakambangan harus dikembangkan dan bermanfaat bagi masyarakat.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR