Dulu, saya mengenal Garut dan Majalaya, Jawa Barat lewat penganan khas dodol dan pepes ikan mas. Ternyata, mereka memiliki tenun dan songket.
Semuanya saya temui di Cita Tenun Indonesia yang dibentuk Agustus 2008 oleh Okke Hatta Rajasa, Sandrina H Satar, Bianca A Lutfi dan kawan-kawan. Tujuannya memang melestarikan tenun dari segi teknik produksi, desain dan mendorong pemakaiannya dengan promosi dan memperluas pemasaran se-Indonesia dan mancanegara. Misalnya, bekerja sama dengan Garuda Indonesia, Cita Tenun mengamati lingkungan tenun Bali untuk pelatihan dan pengembangan produksi dan pemasaran perajin. Juga menggandeng perancang macam Oscar Lawalata dalam menerapkan tenun untuk busana pesta dan sehari-hari dengan sentuhan modern.
Yang satu terasa lebih indah dari yang lain. Songket Deli Serdang, Palembang, blosong Sumsel, cual Bangka, tapis Lampung, Sintang, Kendari, sutra Sulsel, Wakatobi Buton, Donggala, lungsi Sumba Timur, Timor Tengah Selatan terlipat rapi di meja, lemari atau tergantung di penyangga. Songke Manggarai Floresharga jualnya hanya Rp 100.000 lebih tinggi daripada yang saya dapat dari penenunnya di Manggarai Barat. Tak seperti kain pelah Baduy yang bisa didapat dengan harga seratusan ribu rupiah di Cibeo, tapi ditawarkan hingga Rp 8 juta di suatu hotel berbintang di Jakarta.
“Kami menghargai penenunnya. Ini organisasi nirlaba,” ujar ramah Hanny Handari, bagian pemasaran.
Sementara di Rumah Pesona Kain yang dibentuk sejak September 2005 oleh Linda Agum Gumelar, Ike Nirwan Bakri dan kawan-kawan, saya terpana oleh tenun ikat, songket, sutra, sulaman dan batik dari 30 daerah, dari Aceh sampai Papua yang langka: batik Aceh, Serang, Banten; tenun rang-rang dan kain cepu Nusa Penida. Juga kain dan songket kuno yang berusia sampai 200 tahun, yang hanya dipamerkan.
Walau “kalap”, saya hanya mampu “memborong” tenun lurik merah cerah Yogyakart, kain khas Kendari, dan syal batik cap Cirebon. Saya ingin berkunjung lagi...
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR