Di Timur Tengah, virus MERS telah menewaskan lebih dari 100 orang. Dari laporan New York Times, Jumat (2/5), kini virus itu telah ditemukan pertama kali di Amerika Serikat. Sejumlah pejabat federal AS mengatakan, virus tersebut telah ditemukan pada seorang petugas kesehatan di Indiana yang baru saja kembali dari Arab Saudi.
Pasien itu seorang pria, yang nama, umur, dan apa persis pekerjaannya belum dirilis. Ia kini berada dalam kondisi stabil di sebuah rumah sakit di Indiana, kata Dr. Anne Schuchat, direktur penyakit pernapasan di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau CDCP. Pria itu berada dalam ruang isolasi dan menerima oksigen.
Kasus pertama AS untuk virus yang disebut MERS atau Middle East Respiratory Syndrome ini tergolong "berisiko sangat rendah," kata Dr. Schuchat.
CDCP tidak merekomendasikan siapa pun di AS untuk mengubah rencana perjalanan mereka ke Timur Tengah.
Namun, sebuah tim dari instansi itu akan pergi ke Indiana untuk membantu pengobatan dan menelusuri kembali kontak-kontak si pasien. Pria itu terbang ke Chicago dari Riyadh, Arab Saudi, via London pada 24 April. Ia lalu naik bus ke Indiana. Ia jatuh sakit pada 27 April dan dirawat di rumah sakit hari berikutnya.
Masa inkubasi khas MERS lima hari. MERS dari pasien itu belum diketahui apakah telah menginfeksi orang lain. Daftar penumpang maskapai penerbangan akan digunakan untuk mencari tahu semua orang yang duduk di dekatnya di pesawat.
Namun karena perusahaan bus sering tidak tahu siapa yang membeli tiket atau siapa duduk di mana. "Sehingga menumpang bus mungkin menjadi tantangan," kata Tom Skinner, juru bicara CDCP.
MERS merupakan koronavirus mirip SARS, atau sindrom pernapasan akut parah, yang menewaskan ratusan orang, terutama di Tiongkok, tahun 2002 dan 2003.
Virus yang lebih baru itu pertama kali dilaporkan tahun 2012 di Arab Saudi. Sejak itu, sekitar 400 kasus telah dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sekitar sepertiga dari kasus itu berujung fatal.
Virus itu diduga berasal dari kelelawar, tetapi juga tersebar luas pada unta. Walau virus itu belum menyebar dengan mudah di antara manusia, telah terjadi wabah di kalangan keluarga pasien dan di rumah sakit, di mana pasien menulari paramedis, perawat, dan dokter.
Banyak kasus telah terjadi di Arab Saudi pada Maret lalu dan alasannya belum diketahui. Sejumlah pakar khawatir bahwa mutasi telah membuat virus itu lebih mudah menular.
Pakar lain yakin bahwa unta yang menularkan virus itu kepada manusia dan kecerobohan di rumah sakit juga telah membantu penyebarannya.
Gejala klasik virus itu adalah demam dan sesak napas, yang menunjukkan gejala pneumonia, tetapi sudah ada sejumlah kasus ringan dan gejala yang tidak biasa.
Virus itu telah menyebar di Arab Saudi dan Abu Dhabi di Uni Emirat Arab. Kasus pertama juga telah dilaporkan terjadi Mesir.
Sejauh ini tidak ada obat untuk virus itu. Pasien hanya ditempatkan di ventilator dan diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi bakteri sekunder, dengan harapan sistem kekebalan tubuh pasien perlahan-lahan akan mengalahkan virus itu.
Sejauh ini, virus itu belum ditemukan di Indonesia walau sudah ada seorang warga Indonesia di Saudi yang dilaporkan meninggal karena terpapar virus tersebut. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2-PL) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama pada 29 April mengatakan, seorang warga Indonesia yang berinisial NA, usia 61 tahun, meninggal setelah positif terinveksi virus MERS di Saudi.
NA sempat dirawat di Rumah Sakit King Saud Jeddah sejak 20 April, dengan status "suspect" MERS. Tjandra mengatakan, NA sudah lama menetap di Jeddah dan bukan jemaah umrah. Ia meninggal pada 27 April.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR