Sejak Coen mengubah Jayakarta menjadi Batavia, pada1619, nyaris tidak ada permukiman pribumi yang tersisa. Padahal monografi arkeologis yang dipaparkan sejumlah ahli mengungkap, wilayah sekitar Bandar Sunda Kelapa telah dihuni manusia sejak zaman Neolitikum.
Adanya penemuan berupa kapak hingga pacul membuktikan hal tersebut.
Bagi orang Belanda, Batavia sekan kota yang benar-benar baru tanpa embel-embel sejarah. Sementara di mata pribumi, kota yang semula bernama Jayakarta dan kelak Jakarta ini memiliki keterikatan sejarah dengan kerajaan Islam dan Hindu.
Saat kota ini bermetamorfosis, "kekuatan urbanisasi pun mengubah lanskapnya menjadi sangat Eropa," kata budayawan Yoyo Muchtar.
Gelombang urbanisasi menyemarakkan nuansa Batavia hingga menjadi salah satu kota di mana ras penduduknya paling beragam di wilayah Hindia Belanda. Kebanyakan orang Betawi mengakui kebinekaan ras leluhur mereka.
Lalu dari mana cikal bakal nama Betawi? Tinjauan literatur mengungkap, boleh jadi nama tersebut mengakar dari Bahasa Melayu. Berdasarkan arsip pemerintah Belanda, asal usul etnis ini terkait perkembangan penduduk Batavia.
Jakarta, dikatakan Yoyo, adalah daerah asal masyarakat Betawi yang heterogen. Ciri yang membedakan etnis Betawi dengan etnis lain (pendatang) sesederhana pemaparan Chaer, "Etnis lain memiliki keterikatan emosional dengan daerah lain. Namun tidak demikian halnya etnis Betawi—yang tidak mengenal istilah mudik."
Kebinekaan masyarakat Betawi, merunut jurnal yang ditulis peneliti Lance Castles dan dilansir Cornell University pada 1967, telah dicatat dalam sejumlah literatur sejak ratusan tahun silam.
Betawi sendiri, tulis Castles, secara biologis adalah turunan kaum berdarah campuran aneka suku: Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Banda, Ambon, Melayu, Sumbawa, juga asal Arab, India, Tionghoa, Eropa. Kebinekaan ini—diyakini cendekiawan Yasmine Shahab— disatukan oleh Belanda sebagai penduduk pribumi yang kemudian terserap dalam kelompok etnis Betawi.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR