Nationalgeographic.co.id—Nenek moyang kita menemukan api sejak ratusan ribu tahun silam. Meski begitu, kita tetap saja merasa terpesona oleh nyala api unggun yang menari-nari. Menyalakan api dan mengendalikannya adalah salah satu bentuk kegiatan kimia tertua yang dipraktikan oleh manusia.
Selama berabad-abad, peneliti telah membentuk pemahaman dasar tentang bagaimana api berperilaku di terra firma. Dalam pencarian tak berujung, para peneliti mencoba melampaui keterbatasan. Beberapa dari mereka memutuskan untuk membawa api "keluar dari dunia ini" untuk melihat bagaimana perilakunya.
Pada 2012, para astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional menyalakan api. Melalui Flame Extinguishing Experiment atau FLEX, para ilmuwan mengamati sesuatu yang hanya menjadi teori sampai saat itu. Tetesan heksana yang dinyalakan bersama oksigen dalam ruang bakar telah menghasilkan bola api biru yang dingin.
Bagaimana api bisa menjadi dingin? Mengapa kita harus pergi ke luar angkasa untuk mengamati api?
Api Dingin
Api muncul ketika ada sesuatu yang terbakar dan gas di sekitarnya menjadi super panas dan mulai bersinar. Resep untuk membuat api cukup sederhana, karena kita hanya membutuhkan tiga bahan: oksigen, bahan bakar, dan panas. Hubungan dasar ini juga dikenal sebagai "segitiga api".
Sebagai penduduk bumi, kita tidak perlu terlalu khawatir tentang bahan pertama, oksigen. Setiap saat, planet kita menampung sekitar 1.200.000 miliar metrik ton gas oksigen. Selain menopang kehidupan, lingkungan yang kaya oksigen ini menyediakan kondisi yang sempurna untuk menyalakan api.
Selanjutnya, kita beralih ke bahan bakar, yaitu zat apa pun yang akan terbakar dengan adanya oksigen dan melepaskan energi dalam prosesnya. Secara teknis segala sesuatu di sekitar kita adalah bahan bakar dan akan terbakar jika dibiarkan mencapai suhu yang cukup tinggi.
Baca Juga: Gunung Lumpur Bawah Air Meledak, Api Besar Berkobar di Laut Kaspia
Namun, umumnya manusia menggunakan bahan yang mudah terbakar atau memiliki titik api rendah sebagai bahan bakar. Contohnya: batu bara, minyak bumi, atau heksana.
Pembakaran api melibatkan proses kimia sederhana yang dikenal sebagai pembakaran. Selama proses ini, bahan bakar bergabung dengan oksigen untuk menjalani beberapa reaksi kimia yang memancarkan energi dalam bentuk cahaya dan panas.
Namun, bahan bakar hanya dapat bereaksi dengan oksigen ketika berada di atas suhu penyalaannya. Kelebihan energi yang dibutuhkan untuk mencapai suhu ini dan memulai proses pembakaran disediakan oleh sumber panas eksternal. Misalnya, sumber panas untuk menyalakan kompor adalah percikan listrik, sedangkan untuk batang korek api, itu adalah gesekan kepala korek api terhadap panel bertekstur kotak korek api.
Api dingin mengikuti kimia yang sama persis, di mana hidrokarbon yang digunakan sebagai bahan bakar mulai terbakar ketika dinyalakan dengan adanya oksigen. Namun, nyala api ini tidak bisa membekukan sesuatu. Api disebut "api dingin" karena suhu nyala api ini cukup rendah. Sebuah kompor masak rata-rata menghasilkan nyala api sekitar 1.700 derajat Celcius, sedangkan suhu nyala api dingin berkisar antara 400 hingga 600 derajat Celcius.
Baca Juga: 'Indonesia Dalem Api dan Bara': Kronik Kota Sampai Analisis Bahasanya
Apa Yang Unik Dari Api Dingin Ini ?
Api dingin yang diamati di ISS berbentuk bulat, yang hampir tidak mungkin dibuat ulang di Bumi dalam kondisi normal.
Sebagian besar dari kita mungkin tidak menyadarinya, tetapi gravitasi memainkan peran utama dalam bagaimana api berperilaku di planet kita. Ketika api dinyalakan di Bumi, kolom udara/gas di sekitarnya menjadi panas. Berdasarkan konveksi, gas panas yang kurang padat akan menaik dan menyedot udara yang lebih dingin dan segar untuk mempertahankan api.
Efek dorong dan tarik antara gas panas yang lebih ringan dan udara dingin yang lebih berat ini menimbulkan bentuk titik-titik air yang berbeda dari nyala api. Di ruang angkasa, tidak ada gravitasi untuk menciptakan gradien kepadatan, yang menjelaskan mengapa api berbentuk bola.
Baca Juga: Ditemukan Bukti Manusia Telah Melakukan Kremasi Sejak 9.000 Tahun Lalu
Api yang berbentuk bola juga tidak dapat mengisi kembali suplai oksigennya. Regulator eksternal, seperti kipas, digunakan untuk menyalakan api. Aliran oksigen yang terkontrol ini menimbulkan nyala api berwarna biru samar di mana bahan bakar mengalami pembakaran sempurna untuk membentuk karbon monoksida dan formaldehida, tanpa sisa jelaga. Sifat nyala api sedikit berbeda dalam kasus kebakaran di bumi.
Jika kita mengamati nyala lilin dengan cermat, kita dapat melihat dua jenis nyala api: nyala biru bagian luar dan nyala kuning bagian dalam.
Alasan untuk ini adalah perbedaan kandungan oksigen dan suhu. Wilayah biru terluar api memiliki konsentrasi oksigen tertinggi karena masuknya udara segar dari sekitarnya. Hal ini menjadikannya wilayah api terpanas, tempat bahan bakar terbakar sepenuhnya, sehingga hanya menghasilkan karbon dioksida dan air sebagai produk sampingan.
Baca Juga: ‘Api Zombie’ dari Tahun Lalu Berpotensi Timbulkan Kebakaran di Arktika
Daerah kuning, di sisi lain, memiliki suhu yang lebih rendah dan tingkat oksigen yang lebih rendah. Hal ini menyebabkan pembakaran bahan bakar yang tidak sempurna dan pembentukan partikel karbon yang tidak terbakar—disebut jelaga—bersama dengan karbon dioksida dan air. Partikel jelaga ini kemudian diberi energi oleh api dan memberikan warna kuning khas pada api.
Meskipun tidak terlalu umum, api biru sepenuhnya dapat dibuat di bumi. Hal yang harus kita lakukan adalah mengarahkan oksigen yang cukup ke api. Peralatan seperti pembakar bunsen dan obor las menghasilkan hampir seluruhnya api biru dengan mengatur aliran oksigen dan bahan bakarnya secara saksama.
Baca Juga: Sejarah Kembang Api yang Kerap Menjadi Simbol Perayaan di Dunia
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Source | : | Science ABC |
Penulis | : | Agnes Angelros Nevio |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR