Ketika tabung kaca yang kami naiki bergerak perlahan menembus awan tebal dan suasana sekeliling menjadi senyap, yang ada hanyalah kita dan keagungan alam. Perkampungan modern di pusat kota yang sarat hotel dan kafe itu perlahan menjadi kumpulan noktah. Danau-danau yang mengelilingi Whistler tak ubahnya kolam-kolam biru mungil yang tersebar di ranah hijau. Lekuk-lekuk pucuk gunung yang tertutup es berkilauan ditimpa matahari. Inilah kesempatan untuk mengagumi gletser-gletser purba beserta hutan-hutan pinusnya yang rapat tak terjamah dan menjadi rumah nyaman bagi komunitas beruang.
Perjalanan di atas awan sekitar 30 menit itu berujung di lembah Blackcomb yang tertutup salju. Suhu udara langsung drop di bawah nol derajat. Puncak gunung kini tak lebih dari ”bukit” putih. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan putih dan putih. Namun, tempat ini tak lagi senyap, tapi riuh oleh kehadiran para pemain ski, snowboarding, dan tubing. Sebagian melesat cepat di jalur yang dibatasi pohon pinus, sebagian lagi meluncur dan bergulingan di atas karpet salju yang tebal.
Angin dingin tajam menghunjam telinga dan wajah. Mata segera menyapu ke sekeliling. Dan, ya, itu yang kami cari. Sebuah kafe yang merupakan aroma harum kopi dan keju panggang.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR