Siapa pun pemimpin Indonesia nanti harus berani mengubah budaya atau pola makan rakyat. Kebijakan pangan tidak hanya soal pasokan, tetapi juga mengelola permintaan berbasis sumber pangan domestik.
Dua kunci utama dalam membangun ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Agar pangan tersedia, butuh lahan produksi yang lebih luas dan produktivitas lebih tinggi.
Baca juga ulasan: Pekarangan, Pertahanan Pangan yang Terkikis
Untuk meningkatkan akses masyarakat, dibutuhkan antara lain peningkatan skala usaha serta kebijakan logistik dan distribusi. Berbagai program terkait pangan yang menonjol, seperti revitalisasi pertanian, pemanfaatan lahan terlantar, masalah konversi lahan, dan revitalisasi pabrik gula —selama ini sekadar menjadi pemanis bibir. Belum ada yang diimplementasikan dengan baik.
Akibatnya, selama sepuluh tahun pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persoalan pangan seperti jalan di tempat. Impor kedelai masih di atas dua 2 ton, impor jagung 3 juta ton, impor gula 2 juta ton, dan impor daging sapi bahkan sudah tidak dibatasi lagi. Impor gandum pun terus membengkak.
Bahkan, pada 2014 tidak ada jaminan untuk tidak mengimpor beras. Kalkulasi moderat menunjukkan, dengan penurunan produksi padi 2014 sesuai perhitungkan Badan Pusat Statistik sebesar 1,9 persen — untuk keperluan menjaga stabilisasi harga beras, Indonesia masih erlu impor beras minimal 1 juta ton.
Kebijakan pemerintah soal pangan selama ini cenderung populis. Misalnya pemberian insentif harga dengan menutup mata soal daya sing komoditas pangan Indonesia yang terus tergerus dan tanpa peduli persoalan dasar terkait skala produksi yang terus menyusut.
Rendahnya daya saing pangan kita tidak semata di tataran global, tetapi juga di ASEAN. Padahal, tantangan liberalisasi perdagangan, termasuk pangan, sudah di depan mata.
____________________________________________________________________________
Sahabat, tengok kembali sajian kami mengenai problem pangan sebagai salah satu bahaya terbesar di Bumi: "Masa Depan Pangan"
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR