Nationalgeographic.co.id—Ketika menatap langit dan lautan yang tak berujung kita mungkin berpikir bahwa warna biru adalah hal yang umum di alam bebas. Akan tetapi, di antara semua warna yang ditemukan di bebatuan, tanaman, bunga, bulu, dan sisik binatang, warna biru sangat langka. Kenapa warna ini sangat langka?
Kita dapat melihat warna karena mata kita mengandung sekitar enam juta hingga tujuh juta sel peka cahaya yang disebut kerucut. Ada tiga jenis kerucut di mata seseorang dengan pengelihatan warna normal. Setiap jenis kerucut memiliki sensitifitas tinggi terhadap panjang gelombang cahaya tertentu: merah, hijau, dan biru.
Informasi dari jutaan sel kerucut mencapai otak kita sebagai sinyal listrik yang mengomunikasikan semua jenis cahaya yang dipantulkan oleh apa yang kita lihat. Kemudian, sinyal-sinyal itu ditafsirkan sebagai nuansa warna yang berbeda.
Ketika melihat objek berwarna-warni seperti safir yang berkilauan atau bunga hydrangea yang mekar, apa yang sesungguhnya terjadi? "Objek menyerap sebagian cahaya putih yang jatuh ke atasnya karena menyerap sebagian cahaya, sisa cahaya yang dipantulkan memiliki warna," tutur penulis Blue: In Search of Nature's Rarest Color, Kai Kupferschmidt, kepada Live Science.
Ketika kita melihat bunga biru misalnya, itu karena menyerap bagian spektrum merah. Atau dengan kata lain, bunga tampak biru karena warna itu adalah bagian dari spektrum yang ditolak bunga tersebut, tutur Kupferschmidt.
Dalam spektrum, warna merah memiliki panjang gelombang yang panjang. Artinya, sangat rendah energinya dibandingkan dengan warna lain. Untuk bunga tampak biru, ia harus mampu menghasilkan molekul yang dapat menyerap energi dalam jumlah yang sangat kecil. Hal ini untuk menyerap bagian merah dari spektrum.
Akan tetapi menghasilkan molekul yang besar dan kompleks sulit dilakukan oleh tanaman, itulah sebabnya bunga biru diproduksi oleh kurang dari 10% dari hampir 300.000 spesies tanaman berbunga di dunia.
Sedangkan untuk mineral, struktur kristalnya berinteraksi dengan ion (atom atau molekul bermuatan) untuk menentukan bagian spektrum mana yang diserap dan mana yang dipantulkan.
Mineral lapis lazuli, yang ditambang di Afghanistan menghasilkan ultramarine pigmen biru langka yang mengandung ion trisulfida, sehingga dapat melepaskana tau mengikat satu elektron.
"Perbedaan energi itulah yang membuat biru," tutur Kupferschmidt.
Baca Juga: Mengapa Paus Pilot Mengejar Paus Pembunuh di Dekat Islandia?
Sedangkan warna biru hewan tidak berasal dari pigmen kimia. Sebaliknya, mereka mengandalkan fisika untuk menciptakan tampilan biru.
Kupu-kupu bersayap biru dalam genus Morpho memiliki struktur nano berlapis yang rumit pada sisik sayapnya yang memanipulasi lapisan cahaya. Sehingga beberapa warna meniadakan satu sama lain dan hanya warna biru yang dipantulkan.
Efek serupa juga terjadi pada bulu jay biru (Cyanocitta cristata), sisik tang biru (Paracanthurus hepatus) dan cincin berkedip gurita cincin biru berbisa (Hapalochlaena maculosa).
Nuansa biru pada mamalia bahkan lebih jarang daripada burung, ikan, reptil, dan serangga.
Beberapa oaus dan lumba-lumba memiliki kulit kebiruan. Juga primata berhidung pesek (Rhinopithecus roxellana) memiliki wajah berkulit biru dan mandrill (Mandrillus sphinx) memiliki wajah biru dan ujung belakang biru. Para peneliti juga menemukan bahwa bulu platipus bersinar dalam nuansa biru dan hijau yang sangat jelas saat terkena sinar UV.
"Tetapi butuh banyak usaha untuk membuat warna biru ini, dan pertanyaan lainnya menjadi: Apa alasan evolusioner untuk membuat warna biru? Apa insentifnya?" tutur kata Kupferschmidt.
"Hal menarik ketika anda menyelam ke dunia hewan, dapatkan mereka melihat warna biru?" tambahnya.
Baca Juga: Bukan Biru Ataupun Hitam, Inilah Warna Rata-Rata Alam Semesta
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR