Ruangan itu tidak seperti ruang periksa dokter pada umumnya. Di ruang tunggunya, terpajang foto-foto sang dokter dan keluarganya—beberapa dalam pose yang begitu kasual—dan berbagai piagam penghargaan.
Pada salah satu sudut ruangan, ada peraga bola dunia raksasa—kurang lebih berdiameter satu meter—yang ternyata bukan bola dunia biasa.
Saya perhatikan lebih detail, ada semacam penanda di banyak kota, hampir di seluruh benua. Usut punya usut, itu adalah tempat-tempat di mana sang dokter pernah memberikan ceramah kedokteran.
Memasuki ruang periksa, nuansa “rumah pribadi” kian kentara; luas ruangan yang tidak seperti ruang periksa pada umumnya, perabotan kayu bergaya barok, sebuah patung perunggu setinggi setengah meter yang menggambarkan sosok Dewi Keadilan, dan semakin banyak foto-foto serta piagam penghargaan. Pasien mana pun tidak akan merasa sedang berkonsultasi di ruang seorang dokter. Hanya sebuah tempat tidur dan perangkat pengukur tekanan darah yang menjadi penanda bahwa itu adalah ruang periksa.
Sudut yang paling menarik buat saya adalah sebuah rak dinding yang memuat foto-foto sang dokter bersama pasien-pasien yang pernah ditanganinya, lengkap dengan cendera mata buatan tangan sebagai tanda terima kasih dari para pasien tersebut. Ada puisi, ada lukisan khas anak-anak, dan beragam bentuk tanda dan ucapan rasa syukur lainnya.
Ketika sedang asyik melihat-lihat rak itu, sang dokter pun masuk dan menyapa saya dengan senyumnya yang ramah. Namanya Eka Julianta Wahjoepramono. Banyak orang menyebutnya dengan Prof. Eka.
Ia adalah seorang profesor ilmu saraf (neuroscience) bertaraf internasional, spesialis bedah saraf pertama dari Indonesia yang sejak Agustus 2007 menjadi visiting professor di Harvard Medical School, Massachussetts, dan University of Arkansas for Medical Sciences, keduanya di Amerika Serikat, serta di banyak institusi medis di negara lain seperti Kanada, Australia, India, Korea Selatan, Taiwan, dan lain-lain. Dinding ruangannya yang disesaki piagam penghargaan dan pengakuan dari berbagai benua seakan-akan membuktikan klaim itu.
“Saya ingin bangsa kita juga maju untuk urusan teknologi otak,” ujar dokter yang kini memimpin Neuroscience Centre di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang—beranggotakan 18 spesialis bedah saraf—membuka percakapan. Saat saya wawancarai, atau mengobrol lebih tepatnya, ia masih mengenakan baju operasi berwarna biru gelap, lengkap dengan penutup kepala. Kebetulan, saat itu sedang berlangsung dua operasi paralel di bawah pengawasannya.
Sebagai anggota komite edukasi di World Federation of Neurosurgical Societies, organisasi internasional yang mempromosikan perkembangan dunia bedah saraf, setiap bulannya ia harus memberikan kuliah di negara-negara lain.
“Semua yang saya sampaikan setiap memberikan kuliah itu adalah murni dari pengalaman saya sendiri di Indonesia. Nggak boleh berdasarkan pengalaman orang lain. Sudah tidak zamannya lagi memberi kuliah berdasarkan referensi dari tempat lain,” katanya bersemangat.
Dari presentasi-presentasinya itu, akhirnya ia meyakinkan dunia bahwa teknologi bedah saraf di Indonesia tidak kalah dibandingkan negara lain, bahkan dibandingkan Amerika. “Kuliah saya laku di Amerika dan Eropa, kok.”
Ia berhenti sejenak, lalu meraih peraga otak yang terletak di belakang meja kerjanya. Sambil menunjuk-nunjuk salah satu bagian otak di peraga itu, ia memaparkan bagaimana Indonesia akhirnya dikenal dunia lewat teknologi bedah saraf.
“Ini adalah batang otak,” katanya. Ia menuturkan, pada dasarnya otak adalah kumpulan sel yang punya ekor, seperti kabel. Kabel-kabel itu saling terkoneksi. “Ini mirip superkomputer yang mengontrol seluruh tubuh kita.” Seluruh ujung kabel-kabel itu, lanjutnya, terpilin menjadi satu, membentuk batang otak, yang menghubungkan otak dengan seluruh organ tubuh. “Jadi, ini luar biasa penting. Dulu orang menganggapnya keramat dan tidak ada dokter yang berani menyentuh bagian ini, melihat saja belum pernah,” ia menjelaskan.
Ia bercerita, tahun 2001, ada seorang remaja berusia 21 mengalami tumor pecah batang otak. Kondisinya sudah lumpuh dan harus segera ditangani. Tanpa pengalaman bedah batang otak, Prof Eka dan timnya memberanikan diri untuk melakukan prosedur bedah, “karena sudah terancam jiwanya, ia sudah lumpuh, dan napasnya sudah tersegal-sengal,” katanya. Akhirnya, dengan penuh tekanan, operasi sukses dilakukan, dan pemuda tersebut sembuh seperti sedia kala.
Seluruh langkah dalam prosedur pembedahan itu direkam, dan hasilnya dipresentasikan di seluruh dunia. Hampir tiap bulan ia mendapat undangan untuk memberikan kuliah di berbagai negara.
Sejak 2001 sampai saat ini, Prof Eka dan timnya telah menangani 50 kasus bedah batang otak. “Ini termasuk tinggi. Tertinggi di Asia, bahkan,” tukasnya.
Kasus-kasus bedah batang otak yang ditanganinya telah membuka mata masyarakat bahwa penyakit ini sebenarnya bisa disembuhkan, dan tidak perlu ke luar negeri untuk menyembuhkannya. Kabar ini juga membuat reputasi Indonesia dalam bidang bedah saraf dikenal di seluruh dunia. “Saya ingin Indonesia bangga,” katanya.
Menggunakan BlackBerry
Sebagai dokter kepala, Prof Eka mesti terus mengawasi perkembangan proses pembedahan pasien yang dilakukan oleh dokter-dokter lain di bawah bimbingannya. Strateginya, ia menggunakan grup BlackBerry (BB).
“Setiap ada pasien yang akan dioperasi mesti difoto terlebih dahulu kondisinya, lalu diupload ke grup BB. Lalu, dokter-dokter lain dalam grup itu akan memberikan pendapatnya, apakah si pasien bisa dioperasi atau tidak,” Prof Eka menjelaskan. Semua perkembangan pun terus dimonitor via BB. Sehingga, pasien merasa lebih aman. Teknologi, menurut Prof Eka, sangat membantu dalam hal ini.
Selain menangani pasien, Prof Eka juga giat memberdayakan junior-juniornya. Banyak dari mereka yang dikirimnya ke luar negeri untuk mendalami cabang ilmu saraf yang berbeda-beda, misalnya tumor, stroke, atau epilepsi. Khusus mengenai epilepsi, Prof Eka menekankan bahwa ini adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol.
Terlepas soal kesuksesannya dalam menangai pasien saraf, Prof Eka mengakui masih ada kendala biaya dalam proses penyembuhan. “Memang betul, neurosains itu mahal. Bedah otak tidak bisa dibilang murah. Terutama penggunaan peralatan-peralatan yang berharga ratusan miliar.”
Mengomentari soal foto-foto pasien yang dipajang di salah satu sisi tembok ruangannya, Prof Eka mengakui dulunya foto-foto itu mau disimpan saja di dalam gudang. Kemudian, ada seorang pasien yang menyarankan agar bentuk-bentuk rasa terima kasih dari pasien tersebut dipajang saja.
“Ternyata ada pengaruhnya buat pasien, meningkatkan kepercayaan diri mereka,” terangnya. Bagi dirinya, itu juga menjadi suatu dorongan, bahwa tidak ada hal yang membuatnya bahagia kecuali melihat pasien-pasiennya sehat kembali. “Serius itu. Uang tentu berpengaruh, tetapi nomor satu adalah kesembuhan pasien.”
Di telepon genggamnya, tercatat puluhan ribu SMS dari pasien-pasiennya. Ia memberikan nomor ponselnya kepada pasien-pasiennya agar bisa mengontaknya (via pesan singkat/SMS) kapan saja. Ia mengatakan, “Secara pribadi, saya juga senang bergaul dengan mereka. Sudah seperti teman, bahkan keluarga. Bagi saya, itu salah satu arti kehidupan.”
Bersambung...
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR