Dipanagara, lahir di Keputren Keraton Yogyakarta pada 11 November 1785. Lahir sekitar jam setengah lima pagi, saat sahur, pada hari Jumat Wage. Bayi lelaki itu bernama Bendara Raden Mas Mustahar. Dia anak dari pasangan putra sulung Sultan Hamengkubuwana II—yang kelak pada 1812 bertakhta sebagai Sultan Hamengkubuwana III—dan istri tak resminya, Raden Ayu Mangkarawati.
Sejatinya secara ejaan linguistik, namanya ditulis ‘Dipanagara’ karena aksara Jawa ha-na-ca-ra-ka selalu dilafalkan dengan ‘å’ seperti huruf ‘o’ pada pelafalan kata ‘roti’—bukan ‘bola’. Sementara, “Dipanegara” merupakan variasi ejaan yang kerap digunakan oleh penulis zaman sekarang. Meskipun demikian, penulisan “Diponegoro” pun tidak salah juga lantaran terlanjur lazim digunakan.
Sang Pangeran itu pernah memberikan pemaknaan sejati atas namanya sendiri. ‘Dipa’ berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘lentera’. Maknanya, seorang yang menyebarkan pencerahan atau seorang yang memiliki kehidupan dan kekuatan. Sementara ‘nagara’ bermakna ‘kawasan atau negara’. Jadi Dipanagara bermakna ‘seorang yang menyebarkan pencerahan dan kekuatan bagi sebuah negara’.
Bagi orang Jawa, konon menurut primbon, orang yang lahir pada hari pasaran Jumat Wage mempunyai sifat banyak bicara, namun hal yang dibicarakan tepat. Selain itu, dia selalu berhati-hati, namun acapkali mendapat sandungan. Kelahiran bayi ketika fajar juga kerap dikaitkan sifat pembawaannya kelak: sebagai agen pembaharu, pelopor, atau peneroka zaman.
Saat remaja, pada akhir 1805, namanya berganti menjadi Raden Antawirya. Kemudian dia menyandang nama Pangeran Dipanagara ketika dewasa, pada pertengahan 1812. Penggantian nama adalah hal lumrah dalam masyarakat Jawa, apalagi di kalangan keraton, sebagai tanda kenaikan usia atau kemapanan.
Tampaknya semesta telah menujumkan bahwa bayi laki-laki itu kelak memberikan perlawanan hebat dan masa depan Tanah Jawa. Dalam Babad Dipanagara, autobiografi Sang Pangeran, dia mengisahkan ramalan kakeknya saat dia masih bayi. Sang kakek, Sultan Hamengkubuwana I, mengatakan bahwa cucunya akan membangkitkan kebinasaan luar biasa buat Belanda. Juga, cucunya ini kelak melebihi perjuangan beliau sendiri. Namun demikian, hanya Sang Maha Kuasa yang mengetahui akhir perjuangan cucunya itu.
Ramal-meramal sepertinya bagian dari dunia mistik Jawa. Dalam autobiografinya pula, pangeran itu mewartakan Sultan Agung pernah menujumkan bahwa Belanda akan menjajah Jawa selama 300 tahun setelah dirinya wafat. Sultan Agung juga menujumkan bahwa seorang penerusnya melakukan perlawanan, namun kelak tumbang.
Babad Dipanagara tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat. Naskah yang berbentuk buku setebal seribu lembar lebih itu tampak kusam dan merepih, menggunakan aksara pegon. Dipanagara menulis autobiografinya ketika dalam pengasingan di Fort Amsterdam, Manado. Dia cukup produktif karena karyanya tersebut selesai dalam sembilan bulan (20 Mei 1831 sampai 5 Februari 1832) dengan bantuan seorang juru tulis—karena tulisan tangan Dipanagara buruk.
Namun, naskah koleksi perpustakaan tersebut bukanlah aslinya. AB Cohen Stuart, anggota kehormatan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, membuat salinannya pada pertengahan 1860-an. Sayangnya, naskah aslinya yang disimpan oleh keturunan Sang Pangeran di Makassar itu sudah hancur. Kabar baiknya, naskah ini telah diakui oleh UNESCO sebagai Memory of the World pada Juni 2013.
Babad tersebut bercerita jujur tentang pribadi Sang Pangeran. Bahkan, mungkin boleh dibilang sangat jujur ketimbang buku biografi yang ditulis para politisi zaman sekarang yang konon penuh pencitraan. Dalam tembang macapat, dia menuangkan secara gamblang tentang perasaan dan kelakuannya sehingga muncul sosok dirinya yang sangat manusiawi—beserta segala sisi terang dan gelapnya.
Ramalan dalam Babad Dipanagara ternyata memiliki daya jitu yang mengagumkan. Sosok Dipanagara tampaknya ditakdirkan muncul sebagai pemimpin pemberontakan pada 1825-1830, Belanda menyebut peristiwa itu sebagai “Java Oorlog” atau “Perang Jawa”. Meskipun Dipanagara kalah, pada kenyataannya, pemberontakan ini lebih dahsyat ketimbang Perang Suksesi Jawa yang digelorakan kakeknya selama 1746-1755. Kenyataan lain juga menunjukkan, 300 tahun setelah wafatnya Sultan Agung pada 1646, berakhirlah penjajahan Belanda di Tanah Jawa!
Mengapa Perang Jawa harus terjadi? Selain jumlah korban dan pembiayaan yang fantastis, mengapa Perang Jawa merupakan pertempuran terdahsyat dalam sejarah Hindia Belanda? Benarkah Dipanagara menyerukan pembantaian terhadap orang-orang Cina di Jawa? Bagaimanakah organisasi dan seragam militer Laskar Dipanagara versus Serdadu Hindia Belanda Timur? Bagaimanakah nasib wangsa Dipanagaran di Jawa?
Simak kisahnya dalam National Geographic edisi Agustus yang terbit pada 20 Juli 2014—tepat 189 tahun permulaan Perang Jawa. Untuk pertama kalinya, rupa tulisan tangan Pangeran Dipanagara dan peta pergerakan terakhir laskar Dipanagara di Mataram Yogyakarta selama Agustus 1829 ditampilkan dalam format majalah.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR